Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Juli 2021

Tonggak Baru Pengusutan Pencucian Uang

Kini semua penyidik di semua lembaga bisa mengusut kejahatan pencucian uang. Tonggak baru harapan mengembalikan kerugian akibat kejahatan lingkungan.

Balok kaleng hasil pembalakan liar di sungai Manjuto, 29 Maret 2016 (Foto: Dok. PT Sipef Biodiversity Indonesia)

MAHKAMAH Konstitusi membuat terobosan dengan mengembalikan makna penyidik tindak pidana pencucian uang seperti diatur pasal 74 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021 pada 29 Juni 2021 itu, penyidik pencucian uang tak lagi terbatas pada polisi, jaksa, bea cukai, petugas pajak, KPK, dan Badan Narkotika Nasional.

Kini semua penyidik, baik pegawai negeri sipil maupun non pegawai negeri sipil, bisa menyidik tindak pidana pencucian uang. Para penyidik di Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa mengusut tindak pidana yang terjadi di sektor mereka.

Konstruksi Kayu

Putusan Mahkamah Konstitusi ini sekaligus akan mengubah paradigma penyidikan tindak pidana asal yang berujung pada pencucian uang. Selama ini, karena pengusutannya terbatas di enam penyidik, pencucian uang menjadi tanggung jawab Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Padahal, PPATK hanya sebatas memberikan umpan kepada para penyidik menindak pelaku dan mendapatkan kembali uangnya. 

Data dari PPATK menyebutkan dari 549 tindak pidana pencucian uang, uang pengganti yang berhasil dikembalikan kepada negara hanya Rp 122 miliar. Jumlah penggantian yang amat kecil jika melihat betapa besar potensi kerugian negara akibat tindak pidana asal, seperti pencurian ikan, pembalakan liar, perburuan satwa langka, kebakaran hutan, hingga okupasi lahan-lahan masyarakat adat.

Sebenarnya, sewaktu UU 8/2010 disusun, makna penyidik tindak pidana asal itu mengacu ke semua penyidik. Setelah UU terbit, maknanya terbatas pada enam lembaga. Akibatnya, kasus-kasus kerusakan lingkungan atau kelautan tak maksimal penyidikannya karena kasus-kasus ini memerlukan kemampuan teknis menyelidikinya. 

Adalah Cepi Arifiana dan Dedy Hardinianto dari KLHK dan Garribaldi Marandita dan Mubarak dari KKP yang melihat keganjilan tafsir pasal 74 UU 8/2010 itu. Menurut mereka, pasal itu bertentangan dengan normal pasal 24 ayat (1), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Tak hanya penyidikan pencucian uang menjadi terbatas, juga ada perlakuan berbeda kepada penyidik di luar enam instansi itu dalam menyidik kejahatan pencucian uang.

Hakim Mahkamah Konstitusi setuju dengan alasan mereka dalam gugatan 28 April 2021 itu. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai penyidik bisa berasal dari lembaga mana saja, yang menurut hukum berhak menyidik sebuah perkara pidana. Artinya, penyidik pidana asal itu juga berhak menelisik pidana pencucian uang.

“Tidak ada alasan hukum apa pun yang bisa dibenarkan apabila penegasan norma pasal 74 UU TPPU dimaknai menjadi tidak semua pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang melahirkan tindak pidana pencucian,” kata hakim Suhartoyo, yang membacakan putusan. 

Kepala PPATK Dian Rae menyebut putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai sejarah baru pemberantasan pencucian uang. Ia sependapat dengan alasan penggugat dan pertimbangan hakim konstitusi.

Menurut Dian Rae, dengan penafsiran pasal 74 selama ini penyidikan pidana pencucian uang menjadi amat terbatas. Padahal, kasus-kasus pidana asalnya, seperti perusakan hutan atau pencurian ikan, amat mungkin diikuti pencucian uang yang nilainya sangat besar. “Pembalakan liar itu tak semata bisa diukur dengan uang,” kata dia.

Dengan penyidik KLHK bisa menelusuri pencucian uang, rumusan kasus juga bisa komplet sampai akhir. Sebab, kata Dian Rae, dalam mengusut pencucian uang, tak hanya kemampuan teknis penyidik menelusuri kejahatan asal, memetakan pelaku, hingga transaksinya, “Juga perlu penyidik yang mengikuti kasusnya di lapangan dari hari-ke-hari”.

Menurut Dian Rae, selama ini banyak kasus pencucian terbengkalai karena kemampuan penyidik yang terbatas akibat tak mengikuti kasusnya sejak dari hulu. Padahal, kata dia, kejahatan selalu melibatkan uang besar sehingga dalam paradigma pencucian uang, setiap kejahatan itu memenuhi unsur pencucian uang. “Ini yang membuat penegakan hukum tidak optimal,” kata dia.

Kini, dengan putusan ini, pidana pencucian uang bisa dilakukan penyidik di lembaga mana saja. Penyidikan kejahatan membuka kemungkinan penyidikan pencucian uang sebagai proses akhir sebuah kejahatan. Salah satu tindakannya adalah merampas aset perusahaan atau perorangan yang terlibat. “Selama ini pelakunya hanya dihukum berapa tahun dan mereka masih bisa menikmati hasil kejahatannya,” kata Dian Rae.

Ikuti percakapan tentang pencucian uang di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain