REHABILITASI hutan dan lahan menjadi kata kunci menekan dan mengurangi laju deforestasi dan kehilangan tutupan hutan (forest coverage). Namun, praktiknya tidak mudah. Selain mahal, pelaksanaannya tidak gampang.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020-2024, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (areal penggunaan lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.
Sementara kemampuan pemerintah merehabilitasi hutan rusak hanya 200.000 hektare per tahun. Sementara laju deforestasi 450.000 hektare per tahun pada 2019, turun menjadi 115.500 hektare pada 2020, seperti klaim pemerintah pada Maret 2021.
Dalam sebuah kesempatan Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) telah ditingkatkan besaran luasnya. Sebelum 2019 luas kegiatan RHL sekitar 23-25 ribu hektare, naik pada 2019 menjadi 207.000 hektare. Untuk 2020 ini, rehabilitasi rencananya lebih dari 403.000 hektare.
Angka-angka tersebut bukan jaminan pohon tumbuh. Untuk menjadi pohon dewasa, menurut ilmu ekologi hutan, melalui empat tahap, yakni anakan, sapihan/pancang, tiang, sampai pohon dewasa. Prosesnya butuh waktu 15-20 tahun. Dari pengalaman saya, rehabilitasi hutan hanya melakukan proses/tahapan pertama saja, selebihnya proses-proses lainnya diserahkan kepada proses alam.
Pada waktu bertugas di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IX di Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1994 di Provinsi Sulawesi Selatan, saya diberi tanggung jawab sebagai pimpinan proyek (pimpro) rehabilitasi hutan bantuan OECF-JICA (pemerintah Jepang) di Bone seluas 9.000 hektare.
Kegiatannya mulai dari mendesain lapangan (dalam perencanaan dan perpetaan), menetapkan jenis tanaman yang sesuai, menyiapkan persemaian/pembibitan, melaksanakan penanaman (menyiapkan lubang tanaman, ajir, piringan tanaman dan seterusnya), memobilisasi tenaga kerja, menyiapkan pencairan dana yang harus dilakukan dalam waktu 12 bulan (satu tahun).
Mengingat anggarannya dari pemerintah (meskipun bantuan luar negeri), realisasinya harus dipertanggungjawabkan melalui audit oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada akhir kegiatan. Oleh karena itu, perlu memperkuat secara administrasi dan teknis, dalam dokumen perencanaan yang dilengkapi dengan peta kerja yang dibuat secara detail, agar tidak ada celah penafsiran.
Sering kali jarak tanam tanaman kehutanan sifatnya semu bila dikaitkan dengan luas lahannya. Topografi datar biasanya tidak seberapa dibanding lahan miring dan curam dengan kelerengan antara 40-100%. Meski telah dibantu teknologi Global Positioning System (GPS) dan peta topografi paling mutakhir, deviasi cukup signifikan.
Batas luar lokasi banyak di atas air pada lembah-lembah yang mengalir sungainya. Pada akhirnya, saya memutuskan hasil pemetaan GPS dan analisis topografi sifatnya hanya pedoman saja. Peta sah dan final adalah peta gabungan antara panduan umum dengan hasil pengecekan lapangan.
Masalahnya, bagaimana menghitung jumlah tanaman dalam hektare pada lahan dengan topografi datar dan miring, sementara kita mendasarkan pada peta datar? Kebutuhan bibit lahan datar dan miring akan jauh beda. Jangan-jangan bibit yang sudah dihitung dengan baik dan cukup sesuai dengan luas rehabilitasi tidak cukup sesuai peta kerja.
Dengan jarak tanam 3 x 2 meter, lahan datar 1 hektare (100 x 100 meter) berisi 1.650 bibit. Sedangkan pada lahan kemiringan 100%, 1.650 bibit itu hanya untuk 4.900 m2 (70 x 70 meter) saja. Dengan rumus Pitagoras segitiga siku-siku sama kaki, lahan yang ditanami sisi miring dengan panjang dan lebar 100 x 100 meter, sedangkan sisi siku-siku bila dihitung dengan rumus Pitagoras hanya sekitar 70 x 70 meter.
Itulah yang tersaji yang membuat luasnya menjadi menyusut di atas peta. Begitu pula yang terjadi dengan lahan-lahan lainnya yang kemiringannya di bawah 100%, tentu dapat pula dihitung dengan rumus yang sama dengan penyusutan yang tidak seekstrem kemiringan 100%.
Dalam dokumen perencanaan, luas 9.000 hektare akan ditanami 1.650 bibit per hektare dengan jarak tanam 3 x 2 meter. Dengan demikian, jumlah bibit yang harus tersedia sebanyak 17.820.000 batang (14.850.000 bibit untuk ditanam dan 2.970.000 bibit untuk penyulaman sebanyak 20%).
Kegiatan rehabilitasi hutan tidak mudah terutama menyangkut luasan kegiatan rehabilitasi hutan yang cukup besar dengan topografi yang beragam dan musim yang berbeda-beda tiap daerah. Itu pun sebatas proses/tahapan pertama saja, belum menyentuh keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :