OMBUDSMAN Indonesia sedang mengumpulkan informasi seputar pembangunan lumbung pangan atau food estate di sejumlah provinsi. Antara lain di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Ombudsman menemukan potensi mal administrasi dalam food estate, terutama peraturannya.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menunjuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate yang terbit pada 2 November 2020. “Karena bertentangan dengan sejumlah undang-undang,” kata Yeka dalam webinar “Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi?” pada 22 Juli 2021.
Peraturan Menteri Lingkungan P.24/2020 itu pada dasarnya memberikan keleluasaan mengonversi kawasan hutan lindung dan hutan produksi untuk dijadikan food estate. Pasal 19 ayat 2 peraturan itu menyebutkan bahwa hutan lindung untuk lumbung pangan adalah kawasan yang “sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Yeka, isi Peraturan Menteri Lingkungan itu bertentangan dengan pasal 26 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999. Dalam perubahan pasal 26 di Undang-Undang Cipta Kerja tak disebutkan bahwa perubahan hutan lindung untuk food estate. Pasal ini hanya mengatur bentuk usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti jamur, penangkaran satwa, obat-obatan, wisata alam, rotan, madu, buah.
Iola Abas, Koordinator Pantau Gambut, menambahkan bahwa potensi mal administrasi proyek food estate karena akan mengurangi kawasan hutan lindung yang berubah menjadi areal pertanian dan tanaman pangan. Apalagi, di Kalimantan Tengah, areal pertanian itu akan memakai kawasan rawa gambut eks proyek sejuta hektare di era Orde Baru.
Hingga kini, kata Iola, areal proyek sejuta gambut ini masih rawan kebakaran. Pantau Gambut mencatat pada 2019 areal gambut terbakar seluas 167.000 hektare. “Sampai sekarang proyek food estate juga belum memiliki grand design, sehingga masyarakat termasuk Ombudsman sulit mengawalnya,” kata dia. “Terutama dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.”
Bustar Maitar, CEO Yayasan Econusa, mengingatkan bahwa dalam sejarahnya proyek lumbung pangan oleh pemerintah maupun swasta selalu gagal. Pada 1995, katanya, Presiden Soeharto membuat proyek 1,45 juta hektare sawah di lahan gambut dengan mengonversi hutan menjadi sawah. Begitu juga di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka hutan 1,9 juta hektare untuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang berubah namanya pada 2008 menjadi The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta hektare.
Saat ini, kata Bustar, di Papua sudah ada rencana penataan batas kawasan hutan yang akan dilepaskan untuk cetak sawah baru di Merauke, Mappi, dan Boven Digul seluas 2.038.951,09 hektare. Rencana ini akan diimplementasikan pada tahun ini.
Dengan pembukaan hutan jutaan hektar, kata Bustar, akan banyak kayu bernilai jual tinggi yang ditebang. Bustar mempertanyakan transparansi kelanjutan penjualan dari kayu tersebut dan manfaatnya bagi masyarakat, serta dampaknya bagi konservasi hutan di Indonesia.
Apalagi jika melihat data kecukupan pangan saat ini. Iola mengutip data Kementerian Pertanian yang menunjukkan ketersediaan pangan masih aman, bahkan surplus 7,39 juta ton beras hingga akhir 2020. Pada akhir Juni 2021, kata dia, surplus beras sebanyak 10,28 juta ton. “Di akhir Desember 2021, perkiraan surplus beras adalah sebanyak 9,62 juta ton,” katanya.
Menurut Iola, pandemi covid-19 bukan kelangkaan pangan, melainkan akses pada pangan akibat kebijakan pembatasan aktivitas sosial untuk mencegah penularan virus. “Seharusnya mata rantai ini yang menjadi perhatian pemerintah, bukan pada persoalan penambahan produksi,” kata dia.
Proyek food estate merupakan respons pemerintah atas peringatan Badan Pangan PBB yang memprediksi akan terjadinya ketimpangan akses pangan akibat pandemi covid-19. Dalam kaitannya dengan hutan, ada beberapa usul menjadikan hutan sebagai lumbung pangan tanpa mengubahnya. Program perhutanan sosial telah menunjukkan hutan menjadi food estate yang kaya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :