UNDANG-Undang (UU) Cipta Kerja mewajibkan pengukuhan kawasan hutan selesai dalam dua tahun, sejak omnibus law ini berlaku pada 5 November 2020. Apa itu pengukuhan kawasan hutan?
Pengukuhan kawasan hutan adalah pemberian kepastian hukum pada sebuah areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Namun dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts/II/2001 istilah yang diakui awalnya adalah “penetapan kawasan hutan”. Aturan ini terus berubah hingga muncul P.62/Menhut-II/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan.
Dalam aturan itu, definisi pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan. Hasil penunjukan kawasan hutan berupa peta kawasan hutan skala minimal 1 : 250.000. Pengukuhan kawasan hutan ini penting untuk memberikan kepastian hukum mengelola sumber daya alam di dalamnya.
Meski usahanya coba dilakukan sejak lama, pengukuhan kawasan hutan menghasilkan luas hutan Indonesia beda-beda. Dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi, perbedaan data ini membuka peluang korupsi sumber daya alam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2020, menetapkan luas hutan Indonesia 120,5 juta hektare.
Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, peluang korupsi datang dari ketidakpastian ruang investasi, lemahnya regulasi, serta tidak adanya pengelolaan kawasan hutan di lapangan. Untuk merespons itu, kata dia, pemerintah menetapkan kebijakan satu peta atau (one map policy).
Pahala menjadi Koordinator Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Untuk mengeksekusi kebijakan satu peta, Stranas PK membuat proyek pionir di lima provinsi: Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua. Lima provinsi ini dipilih, kata Pahala, karena tumpang tindih kawasan hutan dengan tambang atau perkebunan, hingga wilayah masyarakat adat.
“Jika kebijakan satu peta bisa diterapkan di lima provinsi itu, kebijakan satu peta bisa diterapkan di daerah lain dengan cepat,” ujar Pahala Nainggolan dalam webinar “Pengukuhan Kawasan Hutan: Legal dan Legitimate” pada. 28 Juli 2021.
Pahala menerangkan, mekanisme kebijakan satu peta dilakukan dengan cara kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi data spasial maupun izin usaha. Menurut dia, untuk mencapai kebijakan satu peta pada tahap integrasi dan sinkronisasi, trennya meningkat. Tahun 2012 baru 11%, kini sudah 69% data.
Pengukuhan kawasan hutan yang harus selesai dalam dua tahun menjadi tantangan bagi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK. Hingga Desember 2020, kawasan hutan yang sudah ditetapkan seluas 89,2 juta hektare dari total luas kawasan hutan sekitar 125,7 juta hektare.
“Masuknya pengukuhan kawasan hutan dalam Proyek Strategis Nasional akan mendorong percepatan karena anggaran sudah dialokasikan dan instrumen hukum sudah ada, yaitu UU Cipta Kerja,” ujar Ruanda Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan.
Untuk mempercepatnya, Ruanda memaparkan strategi pengukuhan kawasan hutan, antara lain, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis, evaluasi regulasi, serta kebutuhan sumber daya manusia dan peralatan ukur yang memadai. Terobosan lain adalah mengganti pal batas dengan titik koordinat yang akan disosialisasikan kepada masyarakat.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University Hariadi Kartodiharjo mengingatkan bahwa pengukuhan kawasan hutan tidak boleh terburu-buru. Menurut dia ada hal penting dan mendasar yang harus diperhatikan sebelum melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan, yaitu inventarisasi. Kegiatan inventarisasi hutan mencakup inventarisasi sumber daya hutan serta masyarakat yang tinggal di kawasan hutan tersebut.
Hariadi memberikan ide mempercepat PKH yang tidak melanggar hukum dan etika sosial dengan membentuk integrasi kerja empat kelompok tim yang terdiri dari panitia tata batas, tim inventarisasi dan verifikasi Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH), tim pelaksanaan PPTPKH, dan tim pengembangan ekonomi. “Ini harus dilakukan sesuai dengan prioritas untuk pengukuhan kawasan hutan,” kata dia.
Hariadi mencontohkan Papua. Di pulau ini, prioritasnya adalah pengukuhan kawasan hutan adat. Karena itu, menurut Hariadi, pengukuhan kawasan hutan mesti menyesuaikan dengan prioritas daerah sesuai masalahnya. Setelah masalahnya ditetapkan, baru empat tim masuk dalam inventarisasi lalu pengukuhan kawasan hutan.
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Pusaka Bentala Rakyat, sebuah LSM yang banyak membantu masyarakat Papua, juga setuju dengan Hariadi. Menurut Franky, pemerintah masih memiliki paradigma bahwa Papua adalah “tanah kosong” yang hanya berisi sumber daya alam dan tidak ada penghuninya.
Franky menunjukkan praktik dan pemberian izin kepada investor dan pelaku usaha di Papua yang hanya membagi wilayah konsesi tanp menimbang ada manusia yang tinggal di dalamnya. Karena itu, percepatan pengukuhan kawasan hutan harus dimulai dengan percepatan pengukuhan hutan adat. “Sejauh ini belum ada selembar surat dari KLHK yang mengakui hutan-hutan adat di Papua” tambah Franky.
Paradigma yang tak melihat manusia dalam kawasan hutan, tak hanya akan melahirkan pelbagai konflik sosial, pengukuhan kawasan hutan juga tak akan berjalan mulus dan malah melanggar konstitusi. Konflik sosial selalu melahirkan pelanggaran hak asasi manusia, yang dilindungi dalam undang-undang.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :