Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 02 Agustus 2021

Isu Kelestarian dalam Proyek Strategis Nasional

UU Cipta Kerja hendak mempercepat proyek strategis nasional. Ada problem kelestarian sumber daya alam dalam implementasinya.

Kelestarian dalam proyek strategis nasional

PEMAHAMAN umum konsep keberlanjutan sumber daya alam dan sumber daya hutan, biasanya sebatas urusan penetapan kelestarian hasil. Sejak mahasiswa, semua orang yang berprofesi di bidang kehutanan tahu apa itu AAC, annual allowable cut, yaitu jumlah volume atau pohon maksimum yang boleh ditebang setiap tahun agar hutan tetap lestari.

Kelestarian hasil memang menjadi inti kelestarian sumber daya alam. Konsep ini pada umumnya menjadi “dalil” untuk membatasi hasil yang diambil, dengan tidak boleh melebihi kemampuan tumbuh suatu populasi sumber daya alam.

Persoalannya, “dalil’ kelestarian itu tergantung pada sejumlah syarat. Dalam praktiknya, syarat-syarat itu direduksi, bahkan sejak dalam pikiran. Dalam banyak hal, bahkan, seolah-olah konsep kelestarian itu hanya berupa ilmu biologi untuk mengatur hasil dan ilmu finansial untuk menghitung untung-rugi.

Syarat-syarat itu, antara lain, sistem insentif, dampak lingkungan dan sosial yang bisa dikendalikan, atau sikap pengelola sebagai operator maupun regulator: apakah bisa menjalankan fungsi dan kewenangan mereka dengan baik atau tidak. Di sini persoalan kapasitas lembaga pemerintah, konflik kepentingan maupun terjadinya berbagai jenis korupsi, bisa menjadikan “dalil” kelestarian itu tumpul dan tidak termanfaatkan.

Di sisi lain, tidak mungkin pengusaha menjalankan bisnisnya bila tidak menguntungkan, walaupun harus pula mengendalikan dampak negatif lingkungan. Jadi, baik pemerintah maupun pengusaha—besar ataupun kecil—secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab kepada publik dalam mewujudkan kelestarian sumber daya alam.

Terlebih lagi dalam mengelola hutan—produksi, lindung, atau konservasi. Mereka berperan sebagai pengendali menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Untuk itu, ada berbagai instrumen kebijakan—seperti kesesuaian tata ruang, daya dukung dan daya tampung lingkungan, pengukuhan kawasan hutan, sistem informasi dengan peta resolusi tinggi. Semua itu akan menentukan kelestarian pemanfaatan sumber daya alam melampaui batasan kelestarian hasil tadi.

Dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan aturan turunannya, ada desain kebijakan untuk mempercepat implementasi proyek strategis nasional (PSN). Secara operasional, proyek strategis nasional didefinisikan sebagai proyek dan/atau program pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Definisi proyek strategis nasional itu tertuang dalam pasal 1, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sifat strategis itu tampak sengaja dipisah dari persoalan ketersediaan jasa lingkungan atau peluang terjadinya konflik sosial sebagai syarat berjalannya proyek dalam jangka panjang.

Hal itu terlihat, misalnya, dari 68 proyek bendungan dan irigasi serta air bersih dan sanitasi, tidak ada proyek strategis perlindungan hutan lindung. Padahal kita tahu kerusakan hutan lindung semakin tinggi yang berpengaruh pada pasokan air, termasuk air untuk pertanian. Saya khawatir ketidaksinkronan ini terjadi akibat kekeliruan dalam mendefinisikan masalah, sehingga solusinya pun keliru. Sebab pasokan air itu sendiri perlu menjadi perhatian.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43/2021 tentang penyelesaian ketidaksesuaian antara berbagai perencanaan wilayah maupun lokasi perizinan disebutkan bahwa proyek strategis nasional dikecualikan dihentikan ketika ada ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten.

Sementara Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan ada klausul bahwa pelepasan kawasan hutan hanya bisa di kawan hutan produksi yang dapat dikoversi dan yang tidak produktif, tetapi dikecualikan untuk proyek strategis nasional.

Tak hanya itu, proyek strategis nasional (PSN) juga bisa memotong luas perizinan berusaha (pasal 160) maupun wilayah persetujuan perhutanan sosial tanpa ada kompensasi (pasal 97 pada PP Nomor 9 Tahun 2021 tentang perhutanan sosial). 

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2021, proyek strategis nasional (PSN) disebut sebagai proyek yang bisa dijalankan tanpa memiliki peta citra resolusi tinggi (pasal 381) dan bisa dijalankan sebelum tata batasnya selesai untuk kegiatan penggunaan kawasan hutan (pasal 404). Proyek strategis juga bisa terus pada wilayah persetujuan penggunaan kawasan hutan walaupun tidak memenuhi komitmen (pasal 398). 

Ketika instrumen pengendalian kerusakan lingkungan hidup atau konflik sosial dikecualikan melalui aturan, pertanyaannya: bagaimana menutup kelemahan lembaga negara mengontrol proyek strategis nasional atau PSN? Pertanyaan lain: benarkah kemudahan dengan menghilangkan berbagai syarat akan mampu memperbaiki kualitas pelayanan birokrasi dan perbaikan tata kelolanya, yang juga sedang bermasalah?

Kedua pertanyaan itu mestinya tidak perlu ada bila tidak terjadi “kekeliruan komposisi”. Kekeliruan komposisi muncul ketika seseorang menyimpulkan sesuatu benar untuk keseluruhan dari kebenaran beberapa bagiannya. Misalnya, setiap anggota tim investigasi adalah peneliti yang baik, karena itu, tim investigasi itu bagus. Kesimpulan itu keliru, karena tidak akan berlaku bila tim itu tidak bekerja sama dengan baik (Hansen, 2015).

Menurut World Economic Forum, hambatan menjalankan bisnis di Indonesia adalah korupsi dan pelayanan publik. Karena itu hal-hal yang menyebabkan korupsi dan rendahnya pelayanan publik dihapus melalui aturan. Padahal tidak ada hubungan langsung antara hilangnya persoalan umum menjalankan bisnis dengan turunnya korupsi dan naiknya pelayanan publik.

Kita tahu UU Cipta Kerja, yang hendak memfasilitasi percepatan usaha berbasis sumber daya alam, berisiko memunculkan persoalan keadilan sosial dan keadilan ekologis. Karena itu perlu ada visi perizinan atau persetujuan berusaha dalam UU itu untuk menjaga kelestarian sumber daya alam.

Dalam kalimat lain untuk memahami kelestarian sumber daya alam, kita bisa menengok Thomas Donaldson dan James P. Wals. Dalam Toward a theory of business (2015) mereka menulis bahwa “Hukum dibuat untuk keadilan, seperti obat untuk kesehatan. Bisnis dibuat untuk mengoptimalkan nilai kolektif sehingga praktiknya mesti mempromosikan harmoni sosial, pemeliharaan lingkungan, dan—pada saat yang sama—kemakmuran ekonomi”.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain