Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 03 Agustus 2021

Konsep Persetujuan Lingkungan: Amankah untuk Lingkungan?

UU Cipta Kerja mengubah bisnis kehutanan. Dari izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan, dari izin usaha menjadi perizinan usaha berbasis risiko.

Polusi udara (Foto diolah dari Iqbal Nuril/Pixabay)

UNDANG-Undang (UU) Cipta kerja mengubah mekanisme bisnis kehutanan, terutama di tahap awal pengajuannya. Syarat utama perizinan berusaha di kawasan hutan yang semula disebut perizinan lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Bisnis kehutanan yang semula berbasis izin juga berubah menjadi perizinan usaha berbasis risiko.

Perubahan itu termaktub dalam perubahan UU 32/2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Pasal 1 angka 35 sebelum dan setelah diubah:

 “Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.” Menjadi: “Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Perubahan klausul ini mendapat kritik dari banyak akademisi karena membuat lingkungan menjadi rentan dan terlalu condong pada kepentingan bisnis.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menjelaskan bahwa perubahan kebijakan ini tetap ramah lingkungan. Katanya, setiap usaha di bidang apa pun, harus didahului dengan prinsip dan dokumen lingkungan hidup. “Kemasannya persetujuan lingkungan,” katanya dalam webinar “Menata Ulang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan Persetujuan Lingkungan" pada 31 Juli 2021 sebagai bagian dari seri diskusi Hari Pulang Kampus (Hapka) XVIII Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.

Menurut Bambang, UU Cipta Kerja mereformasi perizinan usaha yang dulu berbasis izin menjadi berbasis risiko. Reformasi perizinan berusaha terletak pada tiga sudut pandang waktu usaha: pendirian badan usaha, memulai usaha, serta pelaksanaan usaha 

Cakupan reformasi perizinan berusaha berada pada waktu memulai usaha dengan adanya persyaratan dasar dan perizinan berusaha berbasis risiko. Pada waktu pelaksanaan usaha, menurut Bambang, tetap ada perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha dan pelaksanaan pengawasan.

“Semua hal tersebut masih harus memenuhi persyaratan dasar yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung sertifikat laik fungsi,” kata Bambang.

Ia menerangkan bahwa basis risiko memakai pendekatan prinsip UU 32/2009, yaitu kondisi sumber daya alam dan lingkungan, kesehatan, dan keselamatan. Penentu jenis perizinan berusaha adalah pemetaan kriteria dasar risiko dan tingkat risiko bisnisnya.

Adapun tahapan perizinan berbasis risiko meliputi (1) persiapan, (2) identifikasi bahaya dan probabilitas, (3) penentuan tingkat risiko, dan (4) perizinan berusaha. Sektor lingkungan hidup, kata Bambang, justru menjadi simpul berbisnis. “Semua jenis usaha tidak boleh lepas dari prinsip lingkungan hidup,” katanya. 

Soewarso, Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, menambahkan pengusaha menangkap hal baik dalam perubahan regulasi perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja. Katanya, perizinan berusaha ini mengubah sistem lama pada pemanfaatan hutan yang hanya satu produk dan satu perizinan saja.

Ia mencontohkan, sebelum UU Cipta Kerja, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hanya boleh menebang kayu saja. Tapi dengan perizinan usaha baru, pemanfaatan hutan diperluas untuk banyak komoditas sehingga nilai hutan menjadi bertambah.

Perbedaannya perizinan usaha kehutanan dulu dan sekarang, kata Soewarso, adalah izin lingkungan sudah diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha. Ada pun jenis dokumen lingkungan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) masuk ke dalam persetujuan lingkungan seperti Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKL), Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH), dan Nomor Induk Berusaha (NIB) sesuai dengan tingkat risiko tinggi, menengah, dan rendah. “Ini sangat sederhana, tapi tidak meninggalkan prosedur lingkungan,” kata Soewarso.

Menurut Soewarso, perubahan ini akan mendorong dampak positif UU Cipta Kerja terhadap sektor usaha kehutanan. Ada lima dampak perubahan UU Cipta Kerja menurut Soewarso: (1) meningkatnya efisiensi pengelolaan hutan dan industri pengelolaan (2) meningkatnya produktivitas hutan dan nilai hutan, (3) meningkatnya potensi pendapatan PBPH dari multi usaha kehutanan dan penerimaan PNBP (4) terfasilitasinya penyelesaian permasalahan konflik tenurial dan tumpang tindih dengan sektor usaha non kehutanan (5) jaminan kepastian usaha jangka panjang (6) peluang akses pendanaan untuk investasi kehutanan.

Menanggapi dua pendapat ini, akademisi IPB Soeryo Adiwibowo menguraikan dampak dari perubahan-perubahan ini, yakni naiknya jumlah persetujuan lingkungan.

Menurut dia, seharusnya perizinan lingkungan berkurang dari waktu ke waktu. Artinya jika pengusaha dan pemerintah sudah mengetahui dampak suatu usaha terhadap lingkungan, pemerintah tidak perlu lagi membuat perizinan yang sama karena dampaknya akan serupa.

 “Amdal adalah kajian untuk mengetahui perilaku suatu risiko,” kata Soeryo. “Makin banyak proyek serupa, berikutnya tidak perlu amdal.” Masalahnya, dengan perubahan izin lingkungan ke persetujuan lingkungan, Amdal malah naik. 

Karena itu, kata Soeryo, ukuran yang dipakai seharusnya “dampak penting” dari bisnis itu kepada lingkungan. Karena itu jika suatu usaha tersebut memiliki dampak penting maka ia baru wajib Amdal. Jika tidak, cukup UKL-UPL.

Logikanya, bisnis bersifat dinamis. Sebuah usaha mungkin jadi tidak berdampak penting karena jenisnya banyak sehingga risikonya sudah bisa ditangani. Pembuatan dokumen Amdal menunjukkan bahwa risiko lingkungan pada jenis usaha yang sama tak kunjung bisa teratasi.

Ia mencontohkan lebih teknis, jika ada 25 usaha serupa yang sudah dilengkapi Amdal, usaha ke-26 tidak wajib lagi. “Hanya tinggal diberikan SOP saja.,” kata dia. “Harus digaris bawahi, UKL-UPL bukanlah SOP Amdal.”

Maka dengan berdasarkan pada “dampak penting” usaha yang awalnya tidak punya dampak terhadap lingkungan, lalu jadi memiliki dampak, ia baru wajib Amdal. Menurut Soeryo, tantangan persetujuan lingkungan dalam perizinan berusaha pemanfaatan hutan bisa diatasi, pelan-pelan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain