PEMERINTAH Indonesia hendak memberlakukan pajak karbon mulai 2022. Rencana ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pajak karbon salah satu usaha mitigasi perubahan iklim.
Dalam draf itu dijelaskan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.
Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram setara karbon dioksida (CO2) atau satuan yang setara. Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon dan perubahan tarif pajak karbon, serta penambahan objek pajak karbon akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).
Sementara ketentuan mengenai subjek pajak karbon, tata cara penghitungan, pemungutan pembayaran/penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon, serta alokasi penerimaan dari pajak karbon akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Kendati rincian struktur pajak karbon belum jelas, pemerintah juga telah mengumumkan niatnya mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia. Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak industri ini bisa mencapai Rp 26 -53 triliun atau 0,2-0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar US$ 5-10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi.
Ide besar Menteri Keuangan Sri Mulyani menangani emisi melalui pajak karbon dan pajak industri ini satu langkah konkret dan nyata dalam pembangunan ekonomi hijau. Alur berpikir seperti ini logis dan masuk akal karena emisi telah menyebabkan perubahan iklim berupa bencana alam.
Sektor terbesar penyumbang emisi adalah alih fungsi hutan sebesar 48%. Lalu emisi dari transportasi sebesar 21%, kebakaran 12%, limbah pabrik 11%, pertanian 5%, dan sektor industri 3%. Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah didunia setelah Brasil dan Gabon yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.
Aktivitas yang melepaskan emisi ke atmosfer sehingga menyebabkan pemanasan global dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal maupun ilegal. Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga seharusnya menyasar aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja.
Hilangnya vegetasi kayu dalam kawasan hutan maupun tutupan hutan (forest coverage) di luar hutan akibat masifnya alih fungsi hutan, perambahan, maupun kebakaran hutan. Selama ini, penerimaan negara yang dipungut dari hasil kayu yang legal dari hutan alam dan hutan tanaman dalam kawasan hutan negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan.
Khusus hasil hutan kayu di hutan alam dikenakan pungutan tambahan berupa dana reboisasi (DR). Ketentuan ini (pungutan provisi maupun DR) tidak berlaku dalam pemungutan hasil hutan kayu dari kawasan di luar kawasan hutan negara (hutan rakyat dan hutan adat).
Jika pemerintah akan menerapkan pajak karbon, komoditas di sektor kehutanan yang dikenakan pajak karbon seharunya aktivitas yang menghasilkan emisi karbon seperti pemungutan hasil hutan kayu dari izin usaha hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) maupun izin usaha hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan hasil hutan kayu dari kawasan di luar kawasan hutan negara seperti hutan rakyat dan hutan hak lainnya.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan sebaiknya pajak karbon dipungut atas transaksi dari perdagangan karbon, karena baik penjual maupun pembeli dalam perdagangan karbon memperoleh manfaatnya.
Skema perdagangan karbon bisa dilakukan antar negara, pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dengan perusahaan lain di luar negeri yang membutuhkannya, atau masyarakat seperti penduduk di desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.
Apakah masyarakat Bujang Raba menjadi subjek pajak karbon? Selama ini perdagangan karbon telah dikenakan PNBP kehutanan sebesar 10%. Akankah PNBP perdagangan karbon ditinjau kembali apabila pajak karbon berlaku? Jangan sampai terjadi duplikasi pungutan sehingga merugikan subyek pajak yang dipungut karena kebijakan ini pada dasarnya baik sebagai mitigasi perubahan iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :