Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 07 Agustus 2021

Rehabilitasi Hutan: Bisakah Mencegah Krisis Iklim?

Rehabilitasi hutan jadi andalan mencegah krisis iklim. Bisakah target luas dalam NDC mengurangi emisi 29%?

Menanam pohon (Foto: Dok. FD)

DALAM dokumen nationally determined contributions atau NDC baru ke PBB, pemerintah berjanji menanami kembali lahan tak produktif seluas 12 juta hektare hingga 2030. Target rehabilitasi hutan ini, baik dengan skenario penurunan emisi 29% maupun 41% dari 2,87 Gigaton setara CO2, seluas 280.000 hektare per tahun atau akumulasi 5,6 juta hektare dalam sembilan tahun ke depan.

Kita bisa mengernyitkan dahi dengan tak sinkronnya target tahunan dan akumulasi luas rehabilitasi. Tapi dokumen NDC, panduan program pemerintah dalam mitigasi krisis iklim, banyak memuat angka-angka yang tak sesuai satu sama lain, bahkan jika dibandingkan dengan Strategi Jangka Panjang Ketahanan Iklim 2050.

Konstruksi Kayu

Misalnya, poin penanaman hutan tanaman seluas 320.000 hektare per tahun tapi akumulasi pada 2030 menghasilkan hutan tanaman seluas 6,4 juta hektare. Sementara rasio kerapatan pohon di Hutan Tanaman Industri sebanyak 144 meter kubik per hektare kayu pada 2030 dengan angka rasio hidup pohon 90% dan rotasi enam tahun.

Selain hutan alam dan tanaman, dokumen NDC baru menyebutkan bahwa restorasi lahan gambut akan seluas 2 juta hektare hingga 2030 dengan rasio pohon hidup diharapkan 90%.

Rehabilitasi hutan dan lahan telah dilakukan pemerintah dan masyarakat selama lebih dari  empat dekade. Setiap rezim pemerintahan punya jargon berbeda-beda dalam menjalankan rehabilitasi hutan.

Pemerintahan Orde Baru memakai jargon “penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA)”.  Pemerintahan Presiden Soeharto mengupayakan pemulihan kerusakan hutan dan lahan daerah aliran sungai (DAS) dengan berbagai program/proyek reboisasi dan penghijauan berbasis DAS prioritas.

Karakteristik kegiatannya antara lain a) bersifat keproyekan dan pendekatannya teknis, dengan melibatkan sektor lain; b) sasaran hutan rusak dan lahan kritid di DAS prioritas; c) sudah dimulai pembentukan kelompok tani/masyarakat dengan bimbingan petugas lapangan penghijauan (PLP); pendanaan penuh dari pemerintah pusat ( sumber dana dari dana jaminan reboisasi (DJR)/ dana reboisasi (DR)). 

Dalam beberapa kasus, terdapat penilaian negatif terhadap hasil kegiatan reboisasi dan penghijauan, namun juga tidak dapat dibantah bahwa program PHTA juga terdapat beberapa manfaat, antara lain:

a) terbangunnya modal sosial kesadaran dan partisipasi masyarakat;

b) meningkatnya kemampuan dan ketrampilan teknis masyarakat dalam kegiatan menanam;

c) meningkatnya kemampuan dan ketrampilan para petugas/penyuluh lapangan;

d) terbentuknya kelompok-kelompok pelestarian alam secara nasional.

Seiring dengan perkembangan waktu dan saking lamanya program PHTA berlangsung (1976-1998), kegiatan reboisasi dan penghijauan pada tahun-tahun belakangan berubah menjadi ritual seremonial tahunan yang mengesankan seperti kegiatan peduli lingkungan belaka. Sementara deforestasi dan degradasi hutan dan lahan terus berjalan seiring dengan kebijakan pembangunan nasional yang hanya berorientasi pada pertumbuhan nasional.

Dalam era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan diteruskan Megawati Soekarnoputri (1999-2004), muncul jargon baru berupa Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau biasa disebut GNRHL atau GERHAN. Kegiatan GNRHL punya target 3 juta hektare selam lima tahun.

Di era ini, untuk pertama kali dalam rehabilitasi melalui penanaman langsung dengan penyebaran benih melalui udara di Sulawesi Selatan. Sayangnya hingga kini belum ada laporan keberhasilan penyebaran benih dengan pesawat ini. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) muncul Gerakan Indonesia Menanam. Di periode kedua berubah menjadi Gerakan Satu Miliar Pohon. Sayangnya, ingar bingar gerakan-gerakan semacam ini yang juga bermuatan politis malah menenggelamkan esensi tugas pokok dan fungsi Kementerian Kehutanan yakni menjaga hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Menjelang berakhirnya masa pemerintahan SBY kedua, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 yang direvisi menjadi PP 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan. Presiden Joko Widodo lebih tegas targetnya yakni rahabilitasi hutan tak harus luas tapi keberhasilannya jelas. 

Belajar dari banyak kegiatan rehabilitasi, berikut ini kelemahannya sehingga bisa meleset dari harapan menjadi tulang punggung mitigasi krisisi iklim:

Pertama, tolok ukur keberhasilan rehabilitasi hutan masih sebatas pada tanaman umur tiga tahun atau pemeliharaan tahun kedua. KLHK mampu mendeteksi keberhasilan rehabilitasi hutan (reforestasi) melalui citra satelit seperti pada  2019-2020 (3.100 hektare) dan 2018-2019 (3.000 hektare), namun belum mampu mengidentifikasi umur tanaman hasil reforestasi.

Tanaman reforestasi dinyatakan berhasil apabila tanamannya telah menjadi pohon dewasa dengan umur minimal 15 tahun. Deteksi keberhasilan RHL dengan citra satelit juga belum menjelaskan apakah rehabilitasi tersebut dilakukan oleh pemegang izin usaha bidang kehutanan atau murni dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, keberhasilan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan, akan lebih sulit lagi diukur keberhasilannya apabila hanya ditinjau dari aspek penanaman, karena lokasi rehabilitasi lahan biasanya tidak mengelompok dan terserak di banyak lokasi. Sehingga keberhasilan rehabilitasi lahan, biasanya hanya diukur dari aspek sosial yakni besarnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan.

Ketiga, rehabiltasi hutan selama ini bersifat proyek (anggaran satu tahun putus), yang seharusnya kegiatan rutin yang anggarannya berlanjut (multi years) sehingga kegiatan dan keberhasilannya dapat dengan mudah terpantau dan terukur. 

Keempat, sumber daya (resources) pelaksana dari pemerintah daerah masih lemah.

Kelima, pendanaan bagi daerah nonpenghasil kayu masih kecil. Selama ini hanya daerah yang mempunyai potensi sumber daya hutan alam yang besar saja (berdasarkan perimbangan bagi hasil) yang mampu melaksanakan rehabilitasi hutan secara masif dan luas, sebagai satu cara mencegah dampak krisis iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain