Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Agustus 2021

Pendanaan Karbon Biru dalam Mitigasi Krisis Iklim

Pendanaan karbon biru (blue carbon) Indonesia teralokasi dalam sektor kelautan dan lahan basah. Potensinya besar.

Padang lamun di Wakatobi (Foto: Dok. PSKL)

ADAPTASI laut dan maritim menjadi elaborasi tambahan dalam proposal NDC baru Indonesia ke PBB untuk dibahas dalam Konferensi Iklim COP26 di Glasgow pada 31 Oktober-12 November 2021. Tak hanya adaptasi, dalam mitigasi perubahan iklim pun, laut punya potensi menyerap emisi karbon sehingga pendanaan karbon biru atau blue carbon juga perlu menjadi fokus.

Sebagai ekosistem penyerap 23% emisi dunia, manajemen laut akan mempengaruhi program mitigasi perubahan iklim untuk menekan suhu tak naik di atas 1,50 Celsius pada 2030. Menurut Direktur Perhimpunan dan Pengembangan Dana Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Endah Tri Kurniawati, karbon biru (blue carbon) Indonesia memiliki 75-80% karbon kredit dunia.

Konstruksi Kayu

Kredit itu berasal dari serapan karbon hutan mangrove, lahan gambut kepulauan, padang lamun, dan terumbu karang. Menurut Endah, penyerapan karbon di ekosistem ini berada dalam mitigasi iklim dalam nationally determined contributions atau NDC sektor kelautan dan lahan basah. “Untuk memenuhi target NDC 2030, sektor kelautan dan lahan basah sangat penting karena dapat menyumbang penyerapan karbon,” kata Endah dalam webinar Peluang Pendaaan Karbon Biru pada 4 Agustus 2021. 

Agar semua sektor itu berperan sebagai penyerap karbon, mereka mesti dikelola secara lestari. Karena itu perlu pendanaan karbon biru. Menurut Endah, dalam NDC sudah direncanakan rehabilitasi dan restorasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare. “Kebutuhannya sekitar Rp 22 trilun,” katanya.

Pembiayaan itu akan terbagi ke dalam beberapa tahap, yakni 2% perencanaan, 62% penanaman, 31% pemeliharaan di tahun pertama dan kedua, dan kegiatan pendukung sebesar 5%. Menurut Endah, fase-fase ini akan mempengaruhi pendanaan karbon biru.

Lebih detail Endah menjelaskan bahwa pendanaan karbon biru pada tahap persiapan atau penguatan prakondisi akan melalui hibah. Sementara tahap pelaksanaan pendanaannya bentuk hibah dan pinjaman. Lalu pada tahap pengembangan pendanaannya bentuk pinjaman bergulir. “Hibah akan berubah bentuknya jika sudah sampai tahap pengembangan karena masyarakat sudah mendapatkan pendapatan, sehingga bentuknya menjadi pinjaman,” kata Endah.

Dalam skema pemerintah, penyerapan karbon biru dalam rehabilitasi mangrove adalah manfaat tidak langsung. Sebab, manfaat langsungnya berupa nilai ekonomi agar masyarakat bisa lebih terlibat dalam mitigasi manajemennya. Manfaat ekonomi langsung berupa naiknya nilai perikanan, madu, kayu bakar, dan produksi akuakultur lainnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto menambahkan bahwa dalam dokumen NDC baru, pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bertambah 0,1-0,2% dibanding proposal lama. Ia mengakui penambahan minim ini karena ada keterbatasan fiskal dan mobilisasi sumber pendanaan non-APBN.

NDC baru tak mengubah target menurunkan emisi pada 2030, yakni 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan asing dari prediksi emisi sebanyak 2,87 Gigaton setara CO2. Penurunan itu diterjemahkan ke dalam pelbagai program, seperti rehabilitasi dan reforestasi, mencegah deforestasi, atau transisi energi fosil ke terbarukan.

Pada periode 2007-2014, pendanaan mencegah krisisi iklim sebesar US$ 17,48 miliar. Periode 2015-2019 sebesar US$ 55,01 miliar atau Rp 825 triliun. Sementara untuk 2020-2030, sebesar Rp 3.461,49 triliun.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Dian Lestari memerinci kebutuhan mitigasi iklim tiap sektor. Paling banyak adalah pembiayaan transisi energi dan transportasi sebesar Rp 3.307,2 triliun. 

Sektor kehutanan Rp 77,82 triliun, industri dan proses produksi Rp 40,77 triliun, manajemen limbah Rp 30,34 triliun, dan pertanian Rp 5,16 triliun.

Dari kebutuhan itu, menurut Dian, anggaran negara melalui APBN yang sudah berjalan pada 2018-2020 sebesar Rp 102,65 triliun. “Tren pada periode itu turun karena ada realokasi ke dalam pemulihan dampak pandemi,” katanya.

Terkait pendanaan karbon biru atau blue carbon, menurut Dian, belum ada alokasi anggarannya. Kabar baiknya, pembiayaan karbon biru sudah masuk ke dalam sektor kelautan dan lahan basah yang baru ditambah pada dokumen NDC baru pada Juni 2021. “Karbon biru punya potensi ekonomi cukup menjanjikan sekaligus mencegah bencana pesisir,” kata dia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain