DALAM dokumen NDC baru pemerintah Indonesia mengajukan beberapa sektor andalan untuk mitigasi krisis iklim hingga 2030. Salah satu sektor andalan adalah kehutanan, dengan mengurangi deforestasi, meluaskan areal lindung di kawasan hutan, dan menambah luas areal restorasi dan reforestasi.
Pemerintah hendak meluaskan areal lindung di kawasan hutan dengan menaikkan areal lindung dari 51,8 juta hektare menjadi 65,3 juta hektare, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pertanyaannya bisakah areal lindung dalam kawasan hutan ditambah? Bagaimana mekanismenya?
Acap kali istilah “kawasan lindung” tertukar dengan “hutan lindung”. Padahal keduanya berbeda. Dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 secara tersurat tidak ada istilah “kawasan lindung”, yang ada adalah hutan lindung di pasal 6 ayat (1). Demikian pula dalam UU Nomor 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, hanya ada istilah perlindungan sistem penyangga kehidupan di pasal 5.
Istilah ini baru muncul dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang. Pasal 1 menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:
a) kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
b) kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;
c) kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
d) kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan e) kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.
Jadi, hutan lindung pasti kawasan lindung, tapi kawasan lindung tidak berarti hutan lindung. Kawasan konservasi pasti kawasan lindung, tapi belum tentu kawasan lindung. Maka areal lindung dalam kawasan hutan adalah hutan lindung dan hutan konservasi secara hukum (dejure)
Dari 125,2 juta hektare hutan, 29,5 juta hektare adalah kawasan hutan lindung, 27,3 juta hektare sebagai kawasan hutan konservasi. Sehingga total luas areal lindung dalam kawasan hutan 56,8 juta hektare. Secara hukum, penambahan areal lindung dimungkinkan dan izinkan dengan menambah areal lindung dari konversi kawasan hutan produksi yang ada (55,8 juta hektare).
Meskipun penambahan areal lindung dalam kawasan hutan dimungkinkan hingga 65,3 juta hektare, namun areal lindung yang dimaksud tidak dapat berfungsi secara optimal sebagai penyerap emisi karbon. Kenapa?
Idealnya areal lindung dalam kawasan hutan bisa berfungsi secara optimal sebagai penyerap karbon apabila tutupan hutan (forest coverage) masih utuh dan belum terdegradasi, apalagi deforestasi. Kita tahu kawasan hutan konservasi dan hutan lindung seluas 56,8 juta hektare tidak steril dari degradasi dan deforestasi.
Di kawasan hutan, benteng terakhir hutan alam yang harus dilindungi dari pengaruh deforestasi maupun degradasi adalah hutan konservasi. Namun karena laju pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan untuk kepentingan ekonomi makin meningkat, kawasan hutan konservasi tidak steril dari kegiatan deforestasi dan degradasi.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK dalam seminar di BKSDA Palembang mengatakan bahwa sekitar 30% hutan dalam kawasan konservasi atau seluas 10,5 juta hektare rusak karena beragam faktor: perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan. Upaya restorasi belum mampu mengatasi laju kerusakan.
Setiap tahun rata-rata usaha restorasi seluar 100 ribu hektare, masih tertinggal dari luasan yang rusak. Belum lagi, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, ada 1 juta hektare kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan konservasi.
Sementara dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2024, lahan kritis dalam hutan lindung mencapai 2.379.371 hektare. Belum lagi alih fungsi lahan hutan di hutan lindung akibat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di hutan lindung, yang terus terjadi akibat pembangunan.
Meskipun IPPKH di hutan lindung legal dan sah secara hukum, dalam perspektif mitigasi perubahan iklim akan berpengaruh negatif karena mengubah bentang alam di hutan lindung dan menghilangkan tutupan hutan. IPPKH yang telah diterbitkan dari tahun 1979 hingga 2018 seluas 563.463,48 hektare, sebagian dari luasan tersebut merupakan IPPKH dalam kawasan hutan lindung.
Maka angka-angka dokumen NDC baru pemerintah Indonesia hanya kuat dan rasional di atas kertas. Implementasi di lapangan bisa sulit. Kemampuan pemerintah melaksanakan restorasi, reforestasi, dan menekan laju deforestasi terutama menambah areal lindung di kawasan hutan terbatas karena kesiapan sumber daya manusia, pendanaan, hingga dukungan sarana dan prasarana.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :