DALAM perhutanan sosial dikenal istilah off taker atau penjamin komoditas hasil hutan kelompok tani hutan. Mereka bisa perusahaan swasta atau perusahaan negara. Off taker biasanya menghubungkan komoditas petani ke pasar lebih besar.
Pasal 203 Peraturan pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan menyebut bahwa pemanfaatan hutan melalui pengelolaan perhutanan sosial untuk mewujudkan kelestarian hutan, kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya. Caranya dengan memberikan persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masyarakat diminta berhimpun dalam kelompok tani hutan (KTH) sebagai pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial. Mereka mendapatkan kesempatan membuat kegiatan usaha dari hak mengelola tersebut. Kelompok tani itu disebut kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
KUPS harus berhasil tidak hanya dalam mengelola kawasan hutan, juga mengelola kelembagaan, dan yang lebih penting lagi berhasil mengelola usahanya. Selama ini, masalah krusial yang dihadapi oleh kelompok tani rumpun pertanian adalah kendala dalam memasarkan komoditas hasil hutan.
Untuk mendukungnya, pemerintah memberikan kredit murah melalui kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah melalui bank-bank pemerintah. Syaratnya melibatkan “off taker”, baik dari BUMN maupun swasta.
Peran off taker dalam perhutanan sosial tampak dari kegiatan perhutanan yang telah melakukan kegiatan kelola usaha yang lengkap. Namun, dari total KUPS sebanyak 5.208 kelompok, yang membutuhkan peran off taker hanya sekitar 461 unit atau 9,22%.
Hingga akhir Desember 2020, jumlah KUPS yang terbentuk sebanyak 7.408 dengan realisasi lahan hutan yang distribusikan seluas 4,7 juta hektare. Pada saat ini di 6.725 lokasi perhutanan sosial telah memiliki 1.250 pendamping.
Meskipun off taker mempunyai peran strategis dan penting dalam pengembangan usaha KUPS, faktanya off taker belum memberikan peran yang signifikan kepada KUPS. Peran off taker masih terbatas di Pulau Jawa dan Bali.
Untuk mendongkrak dan menaikkan kelas KUPS pemula (blue) menjadi KUPS yang siap dilayani off taker butuh dua tingkatan atau level kenaikan kelas. Untuk menilai kualitas KUPS diperlukan proses dan waktu.
Dari indikator capaian proses pendampingan perhutanan sosial dalam buku Panduan Pendampingan Perhutanan Sosial, proses naik kelas dari kelola kawasan ke kelola kelembagaan membutuhkan waktu minimal dua tahun. Demikian juga, dari kelola kelembagaan ke kelola usaha juga membutuhkan waktu 2-5 tahun.
Peran off taker dalam memfasilitasi KUPS akan menonjol apabila KUPS yang akan difasilitasi setidak-tidaknya lebih dari 50%. Pada akhir tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan jumlah KUPS sebanyak 45.400 unit.
Seharusnya lebih dari 22.700 unit KUPS masuk dalam katagori KUPS maju yang sudah terakomodasi oleh peran off taker.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :