Kabar Baru| 19 Agustus 2021
Emisi Karbon Baliho Kampanye Politikus
PEMILIHAN umum masih tiga tahun lagi, tapi para politikus sudah memasang baliho untuk mengenalkan diri. Pandemi Covid-19 tak menghalangi mereka memasang baliho agar dikenali dan mendapatkan popularitas. Selain bermasalah secara visual, juga dianggap nirempati di masa pandemi, emisi karbon baliho kampanye politikus juga lumayan besar.
Para politikus masih menganggap memasang potret dalam ukuran besar sebagai cara terbaik mengenalkan diri untuk menangguk popularitas. Mereka belum tertarik memanfaatkan media sosial dan Internet dalam memasarkan diri sendiri. Atau, mengingat para politikus adalah pejabat aktif pemerintahan, mereka tak memakai kebijakan yang bermanfaat bagi khalayak sebagai cara menggaet empati pemilih.
Di luar soal kampanye, baliho politik juga berpengaruh pada lingkungan. Baliho umumnya memakai bahan plastik. Sementara plastik terbuat dari minyak bumi yang mendapatkannya dengan cara merusak alam. Belum lagi jika baliho itu teronggok menjadi sampah yang menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang berbahaya ketika mengotori atmosfer.
Memakai hitung-hitungan kasar, baliho 1 x 1 meter berbahan plastik mengandung beberapa gram polyethylene. Polyethylene adalah bahan kimia paling banyak dipakai untuk membuat kantong plastik. Menurut web Timeforchange.org, 1 kilogram polyethylene berasal dari pengolahan 2 kilogram minyak bumi.
Membakar dan mengolah 1 kilogram minyak menghasilkan 3 kilogram karbon dioksida (CO2). Maka tiap membuat 1 kilogram plastik akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 6 kilogram setara CO2. Sementara berat rata-rata satu kantong plastik antara 8-60 gram.
Dengan dasar perhitungan itu, jika 1 x 1 meter baliho beratnya 300 gram, emisi karbon yang dihasilnya kira-kira 1kilogram setara CO2. Baliho seorang calon presiden atau politikus yang ingin jadi presiden rata-rata 3 x 6 meter. Maka satu plastik baliho tersebut berasal dari 10,8 kilogram minyak bumi dan menghasilkan emisi 32,4 kilogram setara CO2.
Jumlah emisi karbon satu politikus tinggal mengalikannya dengan jumlah baliho yang ia pasang di seluruh Indonesia. Jika seorang politikus rata-rata memasang baliho 1.000 per provinsi, ia akan menyebar dan memasang 34.000 baliho. Emisi karbon yang dihasilkannya kira-kira sebanyak 1.101,6 ton setara CO2.
Perkiraan emisi karbon ini baru dari prediksi jumlah emisi dari konversi minyak bumi menjadi plastik. Sementara dalam proses produksinya, baliho juga menghasilkan emisi lain seperti hidrofluorokarbon (HFCs) atau metana. HFCs adalah gas rumah kaca kedua paling kuat dalam mencederai atmosfer bumi, yakni 11.700 kali dibanding karbon dioksida.
Untuk menyerap emisi sebanyak 1.101,6 ton, bumi membutuhkan 39 pohon trembesi dewasa berusia minimal 5 tahun selama setahun. Dengan diameter tajuk trembesi 15 meter dan ditanam dalam jarak 5 meter, butuh lahan 15.461 meter persegi atau hampir 1,5 kali luas lapangan sepak bola untuk menyerap emisi karbon baliho politisi.
Maka baliho politikus akan jauh lebih bermanfaat jika dana yang mereka anggarkan mencetak alat peraga kampanyedisalurkan untuk menanam pohon. Pada pemilu 2009, ada sekitar 7.968 calon legislator nasional yang berlomba merebut perhatian melalui baliho.
Jika satu calon legislator memasang minimal 1 baliho di tiap provinsi, ada sekitar 270.912 baliho yang terpacak di sekujur Indonesia. Emisi karbon yang dihasilkannya sebanyak 8.777,5 ton setara CO2 yang harus diserap oleh 308 pohon trembesi selama setahun.
Jumlah ini naik ribuan kali lipat seiring bertambahnya jumlah baliho yang dipasang para politikus. Jika dikonversi ke lahan, emisi karbon baliho sebanyak itu harus diserap oleh hutan trembesi seluas enam kali lapangan sepak bola. Bayangkan jika satu politikus menyebar 1.000 baliho di seluruh Indonesia.
Emisi karbon baliho politik bukan satu sumber saja. Baliho pemasaran produk juga marak sehingga konsentrasi gas rumah kaca Indonesia makin naik seiring pertumbuhan ekonomi karena baliho menjadi alat bantu dalam kampanye dan pemasaran. Emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan mencapai 2,8 miliar ton setara CO2 pada 2030—dua kali lipat dari emisi Indonesia hari ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :