Kabar Baru| 21 Agustus 2021
Usaha Mencapai Karbon Netral
ISTILAH karbon netral kian populer seiring isu krisis iklim yang semakin mewarnai percakapan publik. Seperti namanya, karbon netral adalah keadaan ketika emisi karbon yang diproduksi manusia terserap kembali sehingga tak sempat menguap ke atmosfer. Istilah lain “nol bersih emisi” atau net-zero emission.
Sebab, krisis iklim terjadi ketika emisi karbon berubah menjadi emisi gas rumah kaca yang membumbung ke atmosfer. Ketika gas rumah kaca sampai ke selubung bumi, ia akan bertahan di sana hingga puluhan ribu tahun.
Konsentrasinya yang naik membuat atmosfer kian kehilangan kemampuannya menyerap emisi sehingga karbon itu terpantul kembali ke bumi berupa panas. Kita menyebutnya pemanasan global. Dengan begitu, bumi seperti berada dalam rumah kaca dengan suhu yang pelan-pelan naik karena panas tumbuh dari bawah, menukik dari atas.
Akibatnya iklim menyeleweng, cuaca menjadi abnormal. Perubahan itu membuat siklus bumi menjadi terganggu karena berdampak pada proses kimia maupun biologi yang mempengaruhi mahluk hidup.
Saat ini jumlah emisi global mencapai 51 miliar ton setara CO2. Kita harus selalu menyertakan kata “setara” tiap kali menulis jumlah emisi. Sebab, gas rumah kaca berbahaya bagi atmosfer tak hanya CO2. Ada lima gas rumah kaca lain yang lebih kuat mencederai atmosfer seperti metana, hidrofluorokarbon, karbon nitrat (baca selengkapnya di sini).
Pemakaian satuan CO2 untuk patokan karena gas ini mudah ditimbang dan dihitung. Produksi karbon dioksida sendiri sebanyak 37 miliar ton. Ia terbuat sebagai hasil aktivitas manusia, dari bernapas hingga produksi barang, dari membangun lahan pertanian hingga pembalakan kayu hutan.
Maka, jika soalnya adalah emisi yang sampai ke atmosfer, cara terbaik mencegah krisis iklim adalah tak membiarkan gas-gas tersebut sampai ke sana. Secara alamiah, gas-gas rumah kaca akan tersimpan dalam sebuah ekosistem dengan daya serap yang kuat di bumi, sampai ekosistem itu rusak dan tak lagi mampu menampungnya.
Penduduk bumi mesti mengurangi 45% emisi pada 2050. Sisa emisi yang masih terproduksi mesti terserap agar suhu bumi tak naik hingga 1,50 Celsius untuk mencegah krisis iklim. Sebab, jika kenaikan suhu dibandingkan masa praindustri 1800-1850 terjadi, pelbagai bencana akan menyerang manusia.
Bagaimana caranya? Menyediakan penyerap bagi 55% karbon yang masih diproduksi itu. Kita menyebutnya karbon netral. Artinya, antara produksi emisi dan penyerapnya menjadi seimbang. Dunia akan berlomba mencapai karbon netral pada 2050.
Dalam dokumen NDC baru, pemerintah Indonesia menargetkan karbon netral terjadi pada 2060. Meski perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan karbon netral bisa terjadi pada 2045, pemerintah cenderung memilih tahun 2060 dari empat skenario yang dibuat pemerintah sendiri, yakni pada 2045, 2050, 2060, dan 2070.
Dengan skenario karbon netral pada 2060, pemerintah masih mengizinkan deforestasi. Artinya, hutan akan dibuka untuk investasi. Luas total deforestasi yang diizinkan 820.000 hektare per tahun dalam skenario penurunan emisi 29% dari 2,8 miliar ton setara CO2 pada 2030. Konversi hutan ini membuat cadangan karbon di pohon atau tanah dan serasah akan menguap ke atmosfer.
Agar tak menguap, deforestasi itu mesti ditambal dengan rehabilitasi dan reforestasi. Dalam dokumen NDC baru, target rehabilitasi seluas 280.000 hektare atau akumulasi pada 2030 seluas 5,6 juta hektare. Sementara restorasi hutan rawa gambut 2 juta hektare dengan tingkat keberhasilan 90%.
Apakah skenario karbon netral akan berhasil? Selain rehabilitasi hutan dan lahan gundul, ekosistem lain yang menjadi penyerap emisi terbaik adalah laut. Seluruh luas laut di bumi mampu menyerap 23% emisi karbon melalui terumbu karang, padang lamun, atau hutan mangrove.
Jika hutan dan laut rusak karena penebangan atau konversi menjadi nonhutan atau tambak udang, karbon netral punya tantangan sangat berat. Walhasil, bumi bersiap menyongsong krisis iklim, apalagi jika manusia tak mampu mengurangi emisi karbon karena jumlah penduduk bumi terus bertambah, dengan beralih ke hidup dan teknologi ramah lingkungan—pengertian yang mengacu ke net zero emission.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :