Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 21 Agustus 2021

Mengapa Indonesia Tak Bisa Mencapai Karbon Netral 2050

Indonesia mengajukan proposal baru karbon netral 2060. Tak mungkin bisa 2050.

MESKI menempatkan tahun 2060 sebagai target karbon netral atau net zero emission dalam dokumen NDC baru, pemerintah Indonesia belum memutuskan tahun berapa bisa mencapai target tersebut. Dalam dokumen national determined contributions yang diajukan ke PBB pada akhir Juli 2021, pemerintah Indonesia menulis target tahun nol bersih emisi “2060 atau lebih cepat”.

Kata-kata bersayap ini rupanya tak sekadar bahasa diplomasi. Pemerintah Indonesia belum memutuskan secara spesifik tahun target nol bersih emisi. “Nanti Presiden akan memutuskan dalam COP26 di Glasgow,” kata Arifin Rudiyanto, Deputi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Forum Wartawan Lingkungan pada 21 Agustus 2021. COP atau conference of the parties adalah konferensi iklim tahun anggota PBB.

Bappenas sudah membuat empat skenario tahun karbon netral Indonesia, yakni pada 2045, 2050, 2060, dan 2070. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan 2060, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2070. Menurut Arifin, kendati sudah diajukan dalam proposal NDC baru, pemerintah belum menetapkan tahun resmi karbon netral. 

Karbon netral adalah keadaan ketika jumlah emisi yang diproduksi oleh aktivitas manusia dalam pembangunan terserap seluruhnya oleh ekosistem dan tak menguap ke atmosfer. Karbon netral jadi patokan mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850 pada 2050.

Dalam Perjanjian Paris 2015, sebanyak 197 pihak—negara dan industri—berjanji akan mencapai karbon netral pada 2050. Caranya selain mengurangi emisi melalui alih teknologi, mengubah sumber energi fosil ke terbarukan, juga menaikkan penyerap emisi karbon melalui konservasi, rehabilitasi, dan reforestasi.

Tak semua negara memenuhi janji mereka sendiri, termasuk negara-negara besar. Amerika dan Uni Eropa berjanji setia pada janji, sementara Cina sudah deklarasi nol emisi pada 2060. Itu pun belum mereka ajukan secara resmi ke PBB.

Mangkirnya banyak negara dari janji nol emisi membuat para ilmuwan iklim di PBB memberikan peringatan dunia bakal gagal mencegah puncak krisis iklim 2050. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut laporan UNFCC itu sebagai “kode merah untuk kemanusiaan”.

Seperti Cina, Indonesia juga meleset 10 tahun dari janji nol emisi 2050. Menurut Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam, ada sejumlah alasan mengapa Indonesia tak bisa mencapai target itu. Salah satunya adalah kontrak eksploitasi batu bara yang belum selesai. “Pemerintah menetapkan kontrak energi fosil baru diakhiri 2030,” katanya.

Artinya, jika kontrak pertambangan berusia rata-rata 25 tahun, baru 2055 seluruh eksploitasi energi fosil selesai. Dengan keadaan seperti itu, target nol emisi bersih Indonesia tak mungkin bisa 2050. “Itu mimpi,” kata Medrilzam. “Tidak mungkin Indonesia memenuhi Paris Agreement.”

Untuk mencapai target nol emisi 2060, kata Medrilzam, Indonesia akan sangat mengandalkan pada transisi energi. Dalam dokumen NDC baru, emisi sektor energi akan berkurang sebanyak 19,1% dari 1,67 miliar ton setara COmenjadi 1,35 miliar ton pada 2030. Setelah itu, hingga 2050, akan secara bertahap emisi karbon terus dikurangi.

Hingga kini, Medrilzam mengakui belum ada sinkronisasi program antara lembaga dan kementerian hingga pemerintah daerah untuk bergerak bersama melaksanakan kegiatan rendah karbon. Sebab, tak hanya sektor energi, pemerintah fokus pada empat sektor lain dalam pengurangan emisi, yakni kehutanan, proses produksi, pertanian, dan limbah.

Sebelum mencapai karbon netral 2060, Indonesia akan fokus mencapai target mengurangi emisi 29% pada 2030 dari prediksi emisi 2,87 miliar ton setara CO2 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Dalam dokumen NDC baru, hingga 2030 deforestasi, pemakaian, batu bara, peta jalan manajemen limbah masih fokus pada pengurangan ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain