ADA seruan yang relevan dan positif untuk Indonesia yang masih menghadapi tantangan besar pengelolaan sumber daya alam. Perusahaan atau korporasi sudah menguasai sumber daya alam begitu luas yang berdampak signifikan terhadap banyak hal. Di tengah buruknya tata kelola akibat oligarki, korupsi korporasi sama berbahayanya dengan korupsi di sektor pemerintahan.
Seruan itu kita baca di majalah Harvard Business Review edisi September-Oktober 2021. Ditulis oleh Paul Polman dan Andrew Winston dalam artikel The Net Positive Manifesto:
“Ekspektasi masyarakat terhadap bisnis telah berubah dalam dua tahun terakhir dibanding 20 tahun sebelumnya. Pandemi, bencana alam yang meluas dan semakin mahal, serangan terhadap demokrasi, dan banyak lagi membuat para pemimpin perusahaan, secara praktis maupun moral, tidak bisa lagi duduk di sela-sela perubahan besar masyarakat atau memperlakukan manusia dan planet sebagai masalah orang lain”.
Dalam publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada informasi bahwa korupsi periode 2004-2020 sebanyak 1.262. Dari jumlah itu yang terbanyak dilakukan oleh pengelola perusahaan atau swasta sebanyak 24%, disusul anggota DPR dan DPRD 22%, gubernur, bupati, wali kota 21%, dan pegawai pemerintah eselon I, II dan III 18%, serta pelaku lainnya 15%.
Motivasi korupsi berasal dari perspektif ekonomi. Mekanisme yang mendorong korupsi dari perspektif ini adalah analisis biaya-manfaat sederhana, yaitu korupsi terjadi ketika pejabat menganggap keuntungan korupsi melebihi potensi kerugian ketika mereka tertangkap.
Dalam perspektif antropologi dan sosiologi, korupsi mengkhawatirkan karena pelakunya bukan lagi aktor rasional. Pelaku korupsi merasuk ke dalam sistem sosial dan budaya, mereka yang mengonstruksikan korupsi sebagai perbuatan yang baik atau buruk.
Sementara secara politik, korupsi terjadi di tingkat institusional. Korupsi institusional terwujud ketika ada pengaruh sistemik dan strategis yang legal, yang merusak efektivitas institusi atau melemahkan kemampuan mencapai tujuan organisasi, yakni melayani publik. Konsep korupsi ini mencakup korupsi by designed oleh bisnis swasta atau elite melalui undang-undang untuk menguntungkan kepentingan mereka.
Dalam banyak kasus korupsi pemerintah, korporasi merupakan aktor sentral yang mewakili “sisi penawaran”. Misalnya, perusahaan menyuap pejabat pemerintah sebagai imbalan atas pelayanan. Meskipun korupsi juga bisa terjadi di perusahaan tanpa melibatkan pejabat pemerintahan.
Armando Castro, Nelson Phillips, dan Shaz Ansari, dalam Corporate Corruption: A review and an agenda for future researsh (2020) menelusuri berbagai pandangan ahli terhadap korupsi. Pada era 1960-an, ada perdebatan dalam sosiologi tentang apakah korupsi berfungsi bagi masyarakat.
Dampak positif korupsi pernah dinyatakan Huntington (1968): “Korupsi mungkin merupakan salah satu cara untuk mengatasi hukum tradisional atau peraturan birokrasi yang menghambat ekspansi ekonomi.” Dengan kata lain, korupsi “melumasi roda” pelayanan publik.
Sejalan dengan pernyataan Huntington, dalam penelitian saya pada awal 2017, pengusaha yang pernah saya wawancarai mengaku ekosistem korupsi yang merajalela, bertindak korup menjadi pilihan masuk akal. Mereka percaya bahwa korupsi itu salah. Mereka juga paham korupsi berakibat bagi banyak orang menjadi lebih buruk. Masalahnya, jika mereka tidak korupsi ada risiko bagi perusahaan ketika “permainan bisnis” tidak berubah.
Untuk memahami perilaku usaha seperti itu, Castro dkk menyebut ada empat perspektif utama tentang korupsi korporasi, sebagai berikut:
Pertama, korupsi korporasi adalah tindakan rasional. Dari perspektif ini, korupsi korporasi dilakukan oleh aktor rasional yang bertindak korup. Mereka menghitung ada potensi keuntungan dibandingkan kerugian dan potensi hukuman.
Perspektif ini fokus pada sistem hukum. Pelaku korupsi korporasi berpendapat bahwa kepatuhan hukum oleh perusahaan tergantung pada insentif yang signifikan. Meskipun mereka juga tetap menimbang pada hukumannya. Untuk mengurangi risiko korupsi, perusahaan biasanya memakai perantara atau kemitraan dengan unit bisnis lokal.
Selain itu, beberapa penelitian terbaru menemukan perilaku korup meningkat ketika kompensasi perusahaan terhadap karyawan buruk. Sehingga meski perusahaan berkinerja baik, korupsi tetap terjadi, seperti di perusahaan-perusahaan milik negara.
Kedua, korupsi korporasi sebagai praktik yang dilembagakan. Pendekatan ini tumbuh dari literatur teori neoinstitusional. Perspektif ini menyebut bahwa korupsi tidak terjadi sebagai hasil perhitungan untung-rugi, tetapi dipengaruhi oleh praktik-praktik yang telah dilembagakan. Akibatnya, korupsi menjadi cara sah berbisnis.
Elemen kelembagaan menentukan interpretasi tindakan korupsi dan mempengaruhi pilihan perilaku etis. Institusionalisasi korupsi biasanya terjadi karena eksposur korporasi dalam persaingan usaha. Manajer melihat korupsi sebagai cara meningkatkan keunggulan kompetitif, terutama jika mereka percaya bahwa aktor lain melakukan hal yang sama. Akibatnya, korupsi menjadi “praktik standar” dan dilembagakan dalam perusahaan.
Di Indonesia, Kenny dan Warburton (2020) mewawancarai 672 responden untuk menemukan korupsi yang terlembagakan. Hasilnya pengelola perusahaan melaporkan adanya pemerasan, terbiasa menyuap, dan percaya praktik tersebut umum terjadi di sektor mereka. Secara jenis bisnis, tiga faktor itu terjadi di perusahaan konstruksi, yakni 49,5%, 44,2%, dan 51,6%. Lalu perusahaan ekstraktif sebesar 47,9%, 42,7%, dan 53,1%.
Ada pula praktik disfungsional yang terlembaga sehingga memungkinkan praktik korupsi disembunyikan. Misalnya, seorang akuntan yang mengaudit perusahaan dan bisa mengungkap korupsi, memilih menyembunyikannya.
Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya koordinasi kegiatan korupsi secara sistematis dan melembaga dalam perusahaan. Selain praktik sosialisasi kepada anggota baru dalam praktik korupsi, mekanisme jaringan sosial, kognitif, dan emosional membuat pengelolaan perusahaan menjadi lebih toleran terhadap pelanggaran moral. Ini dikenal sebagai efek “slippery slope”, terlalu percaya diri sehingga pelaku korupsi korporasi cenderung meremehkan kemungkinan mereka tertangkap.
Ketiga, korupsi sebagai perspektif norma budaya dalam korupsi perusahaan. Dalam literatur, budaya organisasi menjadi pola dasar dalam mengatasi adaptasi eksternal dan integrasi internal. Oleh karena itu, para anggota baru mendapatkan contoh dalam memahami, berpikir, dan merasakan masalah dan tujuan perusahaan.
Perspektif ini juga berkaitan dengan, misalnya, pemberian hadiah. Hadiah berfungsi sebagai mekanisme ikatan dalam masyarakat daripada elemen negatif atau pertukaran kekuasaan dan pengaruh. Hadiah berkontribusi pada peningkatan kerja sama dan timbal balik, namun akan menjadi korupsi ketika mereka menciptakan utang sosial.
Keempat, korupsi korporasi dari perspektif kegagalan moral. Dari perspektif ini, korupsi berakar dari kegagalan menerapkan prinsip-prinsip etika dengan benar. Inti dari perspektif ini adalah korupsi didefinisikan secara apriori dan prinsip-prinsip penolakannya disepakati dan diterapkan dalam situasi apa pun. Etika cenderung menjadi dasar ketimbang masalah biaya dan manfaat.
Sebagian besar penelitian manajemen mengambil sikap yang sangat negatif terhadap korupsi. Hasilnya menggambarkan sebagai perbuatan tercela secara moral. Korupsi sebagai bentuk kegagalan moral atau penyakit sosial.
Penggambaran negatif korupsi ini sering didasarkan pada filosofi moral tertentu sebagai dasar aturan universal. Dengan demikian, pengambilan keputusan etis adalah proses ketika individu memakai prinsip moral untuk menentukan apakah tindakan tertentu benar atau salah.
Dengan melihat empat alasan terjadinya korupsi korporasi di atas, pencegahannya tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan rasional dan hukum seperti yang saat ini secara dominan dilakukan. Banyak literatur menyarankan perlunya tindakan kolektif.
"Tindakan kolektif bisa meningkatkan dampak dan kredibilitas tindakan individu, membawa perusahaan yang rentan ke dalam aliansi perusahaan yang bertujuan sama mencegah korupsi. Mereka juga bisa saling memberikan pemahaman bahwa kedudukan mereka sama dengan para pesaingnya.
Sudah saatnya manifesto Polman dan Winston kita laksanakan untuk mencegah korupsi korporasi, yang sama berbahayanya bagi masa depan Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :