Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Agustus 2021

Krisis Iklim Menaikkan Biaya Sosial

Krisis iklim memaksa tiap negara mengeluarkan anggaran untuk mencegah dampak buruk berbagai bencana. Titik kritis krisis iklim sudah berlangsung.

Beruang kutub dan anaknya yang ternacam karena rumah mereka meleleh akibat kenaikan suhu bumi (Gambar: Pixabay)

KRISIS iklim hampir mencapai titik kritis (tipping point). Para ahli di PBB memperkirakan kenaikan suhu 1,50 Celsius dibanding masa praindustri akan tercapai dalam waktu kurang dari 20 tahun, yang menjadi puncak krisis iklim, meleset dari perkiraan semua pada 2050.

Simon Diets, James Rising, Thomas Stoerk, dan Gernot Wagner dalam studi yang mereka publikasikan di Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 24 Agustus 2021 menyebutkan bahwa dampak krisis iklim akan menaikkan biaya sosial. Setiap negara mau tak mau harus mengalokasikan biaya menangani bencana.

Konstruksi Kayu

Dalam perhitungan mereka, biaya menangani bencana sebagai biaya sosial krisis iklim sebesar 25% dari PDB global. Dalam perhitungan lain, di Indonesia biaya sosial mengurangi gas metana saja memerlukan biaya Rp 13,3 triliun per tahun. Semakin tinggi dampak sebuah gas rumah kaca terhadap pemanasan global makin banyak pula biaya yang diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkannya.

Studi Simon dkk menganalisis kenaikan biaya sosial mengurangi karbon dan mitigasinya pada 180 negara yang bakal terdampak oleh delapan sebab puncak krisis iklim.

Dalam artikel berjudul Economic impacts of tipping points in the climate system, para peneliti menerangkan ciri-ciri titik kritis perubahan iklim dalam aspek ekonomi. Pembiayaan sosial karbon atau social cost carbon (SCC) sebesar 25% adalah biaya yang harus ditanggung akibat kerusakan alam.

Delapan titik kritis itu adalah: 

1. Mencairnya es abadi yang akan menambah jumlah karbon dan metana dalam siklus karbon dunia.

2. Pecahnya metana klarat (hidrat metana) yang selama ini terkandung dalam laut yang akan menambah jumlah metana dalam siklus karbon global.

3. Hilangnya es laut Arktik yang akan mengubah gaya radiasi yang akan berdampak pemanasan global.

4. Hilangnya hutan Amazon yang melepaskan banyak karbon dalam siklus karbon global.

5. Kehancuran lapisan es di Greenland yang akan meningkatkan permukaan air laut.

6. Kehancuran lapisan es di Antartika Barat yang akan menaikkan permukaan air laut

7. Melambatnya sirkulasi laut Atlantik yang selama ini membantu memodulasi suhu permukaan global dengan suhu lautan.

8. Variabilitas musim badai tropis laut Hindia yang akan mempengaruhi GDP perkapita seperti di India dan miliaran orang lainnya.

Simon dkk, mengembangkan delapan parameter titik kritis krisis iklim ini dengan ilmu ekonomi yang merupakan model baru dari pengembangan cabang ilmu ini. Menurut mereka, titik krisis iklim yang berkontribusi paling tinggi terhadap biaya sosial karbon adalah dari disosiasi hidrat metana laut. Nilainya 13,1%.

Dampak hidrat metana laut yang terlepas ke atmosfer bisa meningkatkan efek rumah kaca sebesar 25 kali lebih kuat dari CO2. Angka ini sama dengan dampak pelepasan metana di atmosfer.

Karena kuatnya efek gas rumah kaca ini, para peneliti menganjurkan pencegahannya menguap ke atmosfer. Sebab, gas rumah kaca bermanfaat bagi bumi jika tak menguap ke selubung planet ini. Hidrat metana laut memiliki energi cukup besar sehingga berpotensi menjadi sumber energi baru terbarukan.

Kehilangan hutan Amazon di Amerika Selatan akan berdampak pada kenaikan biaya sosial karbon sebanyak 0,1%. Walaupun angkanya kecil, hilangnya hutan Amazon akan melepaskan 50 miliar ton emisi setara CO2. Angka ini setara pelepasan karbon tahunan secara global.

Parameter yang lain adalah kehancuran es di Greenland dan Antartika Barat yang menyebabkan penambahan biaya sosial karbon sebesar 1,8% dan 2,9%. Kedua parameter ini menyebabkan sekitar setengah persen terhadap kenaikan permukaan air laut dunia. Negara-negara dengan daerah pesisir dan dataran rendah yang luas mengalami paling terancam oleh parameter mencairnya es di kutub.

Pengaruh lain dari kehancuran es di Greenland dan Antartika Barat adalah melambatnya sirkulasi laut dan es di Atlantik. Berbeda dengan parameter lain, pelambatan sirkulasi laut akan mengurangi biaya sosial karbon sebesar 1,4%. Pelambatan sirkulasi laut Atlantik berpengaruh terhadap kerusakan iklim di daerah lintang akibat peningkatan suhu permukaan air laut di Asia. Sebaliknya akan menguntungkan bagi iklim Eropa.

Efek hilangnya es di laut Atlantik membuat biaya sosial karbon berkurang 1,7%. Meski begitu, kehilangan es di Atlantik akan memicu albedo. 

Albedo adalah perbandingan jumlah sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali ke angkasa. Naiknya albedo menyebabkan peningkatan suhu dalam jangka pendek, tetapi mengurangi suhu dalam jangka panjang. 

Dengan menganalisis parameter-parameter titik kritis iklim yang menghasilkan biaya sosial karbon para peneliti menunjukkan bahwa krisis iklim bukan perkara main-main. Selain berdampak global, krisis iklim menghantam ke arah mana saja kepada siapa saja.

Menurut Simon, penelitian-penelitian sejauh ini berhenti pada dampak titik kritis iklim, tak sampai pada dampak ekonomi secara global maupun pada tiap negara. Negara-negara selatan akan terdampak paling besar akibat kekeringan, suhu ekstrem, banji, rob, maupun topan. “Kami menggabungkan estimasi dampak ekonomi dari seluruh titik kritis krisis iklim itu,” katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain