Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Agustus 2021

Solusi Mencegah Harimau Sumatera Punah

Satu keluarga harimau Sumatera terbunuh di Aceh karena jerat babi. Perlu sosialisasi melindungi satwa liar.

Satu keluarga harimau Sumatera (terdiri dari induk dan dua anak jantan dan berita) mati terkena jerat babi di Aceh Selatan (Foto: BKSDA Aceh)

FOTO tiga tubuh harimau Sumatera yang sudah bengkak beredar di Internet pada 25 Agustus 2021. Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, tiga ekor harimau Sumatera itu adalah satu keluarga yang terdiri dari ibu dan dua anak jantan dan betina. 

Agus menerima informasi dari masyarakat ada harimau terjerat di dekat hutan lindung Desa Ieu Boboh di Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, pada 24 Agustus. Ia segera mengirimkan tim untuk mengeceknya. “Karena informasinya terjerat kami berharap masih bisa menyelamatkan mereka,” kata Agus kepada Forest Digest pada 27 Agustus 2021. 

Konstruksi Kayu

Tim tiba di lokasi harimau terjerat pada 25 Agustus pagi. Para petugas menemukan tiga harimau itu sudah mati dengan tubuh membusuk. Mereka memperkirakan induk dan anak harimau betina yang tergeletak berdekatan sudah mati lima hari sebelumnya.

Sementara anak harimau jantan diperkirakan mati dua hari kemudian. Ia terpisah lima meter dari lokasi kematian induk dan saudaranya.

Dari uji nekropsi, pembedahan pada mayat harimau, Agus Arianto mengetahui bahwa tiga harimau tersebut mati karena infeksi luka jerat. Luka jerat induk harimau berada di leher dan kaki kiri belakang, sementara anak betina di leher dan anak harimau jantan di kaki kiri depan.

Uji laboratorium pada saluran cerna, kata Agus, tak ditemukan racun. “Jadi bisa kami pastikan, tiga harimau ini mati akibat infeksi luka jerat,” katanya.

Jerat yang ditemukan petugas di lokasi kematian harimau adalah jenis jerat babi, yang dikenal di masyarakat lokal dengan nama “jerat aring”. Jerat ini berupa kabel kawat sepanjang 10 meter yang dibentangkan.

Biasanya, masyarakat pemilik lahan atau kebun memakai jerat ini mengendalikan hama satwa. Meski begitu polisi dari Kepolisian Resor Aceh masih menyelidiki modus pemasangan jerat dengan memeriksa penduduk pemilik kebun. “Tidak menutup kemungkinan jerat untuk menangkap rusa atau menjebak satwa lain yang lewat,” kata Agus.

Lokasi kematian keluarga harimau berada di kawasan hutan lindung yang bersebelahan dengan Area Penggunaan Lain (APL). Agus menjelaskan daerah tersebut merupakan areal jelajah harimau Sumatera.  

Di Aceh, kantong ekologi harimau Sumatera berada di wilayah Hutan Ulu Masen dan Leuseur. Berdasarkan data monitoring 2013 dan 2015, kata Agus, ada sekitar 150 sampai 200 individu harimau Sumatera Aceh. BKSDA sedang menyurvei jumlah terbaru harimau Sumatera di wilayah ini.

Degan kejadian ini, bersama aparatur hukum lain, BKSDA Aceh menggiatkan lagi sosialisasi larangan memakai jerat kepada penduduk di sekitar hutan lindung. Petugas juga menyisir kemungkinan jerat lain di sekitar lokasi kematian harimau.

Harimau Sumatera tergolong satwa langka yang dilindungi karena jumlahnya kian menyusut akibat fragmentasi habitat atau konflik dengan manusia karena dianggap mengganggu. Fragmentasi habitat—berupa hutan yang berubah menjadi perkebunan—membahayakan bagi populasi harimau. 

Harimau yang kehilangan hutan akan turun ke perkampungan penduduk mencari mangsa hewan ternak. Punahnya harimau akan berpengaruh kepada kerusakan ekologi karena hewan ini menempati predator teratas dalam rantai makanan.

Jika harimau punah, jumlah hewan herbivor akan naik yang mengancam kelestarian hutan. Rantai makanan yang tak lengkap pada akhirnya membahayakan planet bumi yang menuntut siklus seimbang antara jumlah tiap tingkat satwa hingga tumbuhan.

BACA: Mengapa Kita Membutuhkan Harimau

Cara terbaik, kata Agus, adalah manusia hidup berdampingan dengan harimau dengan tidak merusak habitat mereka. “Jika habitat rusak, manusia pula yang akan berkonflik dengan satwa liar,” katanya. 

Kematian tiga ekor harimau Sumatera di Aceh adalah alarm perlunya sosialisasi pengetahuan tentang peran penting satwa liar bagi ekosistem dan kelangsungan planet ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain