Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 30 Agustus 2021

Korban “Pernikahan” Sumber Daya Alam

Izin pengelolaan sumber daya alam serupa dengan surat nikah, tapi semacam pernikahan gelap. Itu mengapa daerah kaya sumber daya alam orang miskinnya justru banyak.

Sampul Forest Digest edisi 18. Sebuah variasi dari The Scream karya Edvard Munch (1893) (Ilustrasi: Rahma Dany)

MEMBICARAKAN pengelolaan sumber daya alam berikut korban-korbannya sungguh berbeda dengan perbincangan berbagai kebijakan dan implementasinya. Korban-korban itu adalah masyarakat miskin di sekitar sumber daya alam yang kaya.

Di satu sisi, kenyataan lapangan menjadi tolok ukur, sementara administrasi menjadi alat pembenar atau penentu kesalahannya. Ada asumsi ketika administrasinya benar, kenyataan di lapangan lebih baik. Asumsi ini, kita tahu, tidak selalu benar.

Konstruksi Kayu

Ketimpangan alokasi pemanfaatan sumber daya alam bisa dengan mudah kita lihat: di daerah kaya sumber daya alam, kemiskinan justru tinggi. Masyarakat miskin adalah korban kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang buruk.

Petani sawit di Riau, penambang emas di Palu, atau pencari madu di Mataram, adalah para korban pengelolaan sumber daya alam. Umumnya mereka tidak paham dengan perizinan ruang pemanfaatan. Mereka kaget ketika tiba-tiba tak bisa masuk suatu area karena wilayah itu sudah dibebani izin pemanfaatan sumber daya alam.

Di Riau, ada petani yang mengumpamakan perizinan seharusnya seperti pernikahan. Sebab, menurut mereka, prinsip perizinan sama dengan prinsip pernikahan. Keduanya pengesahan, keduanya pengakuan, dan legitimasi. Sama dengan pernikahan, perizinan juga butuh saksi. Bentuknya undangan terbuka kepada masyarakat untuk menyaksikan pengesahannya. 

Proses terbuka dalam pernikahan itu sekaligus sebagai cara memperoleh legitimasi dari orang banyak. Dalam pernikahan, kita asumsikan, semua orang bahagia dan ikhlas. Legalitas dan keterbukaan melambangkan akuntabilitas dan rasa tanggung-jawab siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Sayangnya, pernikahan memanfaatkan sumber daya alam cenderung hanya administratif, ketimbang untuk mendapatkan legitimasi masyarakat. Izin pemanfaatan sumber daya alam yang dikuasai negara dianggap urusan pribadi, karena itu tergolong rahasia. Bahkan penerima izinnya acap diisukan sebagai orang kuat dan punya koneksi dengan kekuasaan hanya agar wilayahnya “aman”.

Padahal, hak dan kewajiban antar orang akan berubah ketika mereka menyatakan ijab kabul di depan penghulu. Pernikahan menjadi simbol kebaikan dan kebahagiaan secara politis karena menjadi semacam legitimasi hukum kepada masyarakat.

Maka pernikahan yang sah bisa kita katakan sebagai proses sosial yang menuntut keterbukaan informasi. Bentuknya akta nikah, dokumen yang diakui dalam sistem administrasi negara untuk banyak keperluan publik lainnya.

Kita menyerahkan kepercayaan dan legitimasi itu kepada penghulu dan kantor urusan agama. Maka ketika sepasang suami-istri mengontrak rumah untuk tinggal, pemilik rumah tak lagi mempertanyakan status hubungan keduanya. Surat nikah menjadi kertas yang begitu sakti dalam harmonisasi hubungan antar orang.

Menurut para petani Riau, pernikahan objek-subjek pemanfaatan sumber daya alam itu tak seperti pernikahan pasangan manusia. Prosesnya tertutup, tak ada saksi, tidak ada undangan kepada orang banyak, tak ada informasi yang disebarkan secara terbuka. Sebaliknya, semua orang dipaksa, bahkan melalui kekerasan, agar mereka mengakui surat nikah dari perkawinan yang tak pernah mereka saksikan itu.

Pernikahan gelap itu, celakanya, dipromosikan oleh lembaga-lembaga otoritas resmi. Masyarakat bahkan harus mengadu ke pengadilan untuk tahu surat nikah dan pasangan yang menikah di wilayah sumber daya alam mereka.

Bahkan lebih absurd lagi. Pasangan suami-istri yang diminta mendeklarasikan pernikahan mereka tak mau hadir di pengadilan. Ketika hakim—lembaga tertinggi dalam hukum—memerintahkan agar mereka mengumumkan pernikahan, suami-istri ini mengabaikannya.

Dalam “pernikahan” sumber daya alam, saksi-saksi untuk mendapat legitimasi direduksi menjadi hanya daftar absensi. Bahkan pertimbangan, rekomendasi dan pengakuan “pernikahannya” bukan atas dasar keabsahan dalam kesukarelaan, tetapi jadi arena transaksi.

Penghulu dalam “pernikahan” sumber daya alam bahkan berkepentingan mensosialisasikan surat nikah. “Penghulu” juga berkepentingan mempertahankan perkawinan, karena ikut mendapat keuntungan. 

Dengan proses seperti itu, “pernikahan” memanfaatkan sumber daya alam bukan pesta yang ditunggu-tunggu, malah mencemaskan masyarakat yang tinggal di dekatnya. Pernikahan ini semakin kehilangan esensi karena tidak lagi bertempat dalam kehidupan masyarakat yang kebudayaannya melahirkan fungsi dan guna dari proses pernikahan itu.

“Pernikahan” tanpa proses sosial dan keterbukaan informasi bagi publik itu lekat—atau akibat dari—proses politik sepanjang sejarah pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia. “Surat nikah” menjadi alat legitimasi menyingkirkan masyarakat yang tidak tahu atau tahu bahwa haknya ikut dikorbankan dalam proses itu, tetapi tidak berdaya.

Dengan kata lain “pernikahan” pemanfaatan sumber daya alam kini menjadi cara sah mewujudkan ketidakadilan. Maka tak mengherankan jika di wilayah yang kaya sumber daya alam selalu meruyak kemiskinan.

Dalam implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, informasi publik menjadi alat kekuasaan untuk menutupi apa saja yang mungkin terjadi, cela dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dengan sejarah panjang pengelolaan sumber daya alam Indonesia, bisa kita katakan bahwa mengubah hak dan kewajiban atas kekayaan alam dalam bentuk izin tanpa saksi dan tanpa melibatkan masyarakat, seperti merebut kemenangan tanpa mau bertanding. 

Sayangnya, begitulah realitas “pernikahan” berwujud izin pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga hari ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain