Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Agustus 2021

Krisis Iklim Menaikkan Muka Air Laut

Krisis iklim mencairkan es di kutub membuat muka air laut naik dan siklus satu abad banjir besar akan terjadi hampir tiap tahun. Daerah tropis paling rentan.

Gunung es di Laut Arktik pada awal 2000 sudah menghilang. Dalam kurun 100 tahun, suhu bumi naik 1,1C (Foto: Historic photography)

SEBUAH foto yang dimuat akun Historic Photography di Facebook pada 30 Agustus 2021 menunjukkan dengan telak bagaimana dampak krisis iklim. Foto itu membandingkan keadaan di Laut Arktik, Kutub Utara, pada awal 1900 dan awal 2000. Dengan lanskap yang sama, gunung es di foto 2000 sudah hilang sama sekali. 

Es mencair di Kutub Utara merupakan bukti bahwa suhu bumi memang naik. Kenaikan suhu bumi itu mencairkan es sehingga menaikkan muka air laut di dunia. PBB menghitung kenaikan muka air laut dalam satu abad terakhir rata-rata 3 milimeter per tahun. Dampaknya, wilayah pesisir tenggelam, negara-negara kepulauan dalam ancaman. 

Kenaikan suhu bumi erat kaitannya dengan kanikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. World Meteorological Organization melaporkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca di atmsofer tahun lalu tembus 414,2 part per million, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 1900 yang hanya 280 ppm.

Penumpukan gas rumah kaca di atmosfer membuat selubung bumi berjarak 560 kilometer dari permukaan tanah itu tak kuasa lagi menyerap emisi, panas, dan gas yang menguap dari bumi. Juga panas matahari. Akibatnya, emisi yang sampai ke sana memantul kembali ke bumi. Proses itu kita sebut efek gas rumah kaca. Hasilnya pemanasan bumi. Akibatnya krisis iklim.

Kenaikan muka air laut akibat mencairnya es mendapat bukti tambahan lain. Studi di 7.283 lokasi yang dimuat jurnal Nature edisi 30 Agustus 2021 menyebutkan bahwa kenaikan suhu bumi akan menaikkan muka air laut 100 kali lebih cepat pada 2070. Penelitian itu menyebutkan bahwa siklus 100 tahun itu tidak berlaku lagi karena muka air laut naik hampir sekali dalam setahun.

Profesor Roshanka Ranasinghe dari IHE Delft and Deltares (Belanda) melakukan rancangan studi pertama di dunia ini bersama penulis utama Dr. Claudia Tebaldi dari Laboratorium Nasional Pacific Northwest National Department of Energy AS. Studi ini menyatukan tim peneliti internasional dari Amerika Serikat, Belanda, Italia, dan Australia, yang pernah memimpin penelitian besar sebelumnya tentang permukaan laut ekstrem dan efek kenaikan suhu permukaan laut. 

Tim tersebut mengumpulkan data dan memperkenalkan metode sintesis baru, dengan melakukan perkiraan alternatif, untuk memetakan kemungkinan efek kenaikan suhu mulai dari 1,5°C hingga 5°C yang dibandingkan dengan masa praindustri.

Para ilmuwan menemukan hasil yang tak mereka duga, yakni naiknya air laut akan terasa paling parah di wilayah tropis dan umumnya di garis lintang yang lebih rendah dibandingkan dengan garis lintang utara. Lokasi yang paling mungkin terkena dampak besarnya  adalah belahan bumi selatan, daerah di sepanjang Laut Mediterania dan Semenanjung Arab, Pantai selatan Pasifik Amerika Utara termasuk Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.

Sedangkan wilayah yang tidak terlalu terpengaruh kenaikan permukaan air laut adalah wilayah bagian garis lintang yang lebih tinggi, seperti Pantai Pasifik utara Amerika Utara, dan Pantai Pasifik Asia. “Hipotesis kami adalah seberapa tinggi kenaikan suhu bumi membuat dampak yang biasanya terjadi 100 tahun sekali menjadi bencana tahunan?” ujar Profesor Ranasinghe, yang mencatat bahwa dunia telah menghangat sekitar 1,1°C dibandingkan dengan masa pra-industri.

Studi baru ini selaras atau mencerminkan pernyataan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini, yang menyatakan bahwa peristiwa naiknya permukaan air laut ekstrem akan menjadi jauh lebih sering dan meluas di seluruh dunia pada akhir abad ini karena dampak pemanasan global.

Dalam laporan terbaru IPCC, para ahli mengatakan puncak krisis iklim berupa kenaikan suhu bumi 1,5C dibanding masa praindustri akan datang lebih cepat. Kemungkinannya pada 2040, 10 tahun lebih cepat dari prediksi semula, jika dunia tak segera mengubah dengan drastic dan ambisius mitigasi krisis iklim. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut laporan itu sebagai “kode merah kemanusiaan”.

Para peneliti berharap ada banyak studi lanjutan untuk memahami lebih tepat bagaimana perubahan suhu akan mempengaruhi komunitas tertentu. Kenaikan muka air laut hanya salah satu dampak saja dari krisis iklim. Dampak lainnya adalah berbeloknya musim dan siklus bumi menjadi tidak normal sebagai penggerak utama kehidupan di planet ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain