HIDUP manusia sangat pendek, jika dibandingkan dengan usia bintang dan galaksi. Begitulah takdirnya. Di dalam takdir itu, manusia berapi-api, menumbuhkan religiusitas, kadang-kadang sambil menegasikan spesies lain.
Tak seperti manusia, amuba tidak punya ambisi dan spiritualitas mewarisi bumi. Sementara kita menjadikan pertumbuhan sebagai kehidupan itu sendiri, sebagai penanda evolusi, peningkatan ukuran dan kemampuan tubuh, termasuk peningkatan kapasitas kolektif untuk mengeksploitasi sumber daya bumi, maupun untuk mengukur ikatan sosial sebagai jaminan kualitas hidup yang lebih tinggi.
Pertumbuhan sering kali menjadi tujuan tak terucap dari “perjuangan” individu dan masyarakat di sepanjang evolusi tiap spesies. Di waktu yang sama, tidak ada yang mengejutkan dengan pertumbuhan alam semesta, bintang, galaksi, ataupun supernova. Aktivitas geomorfik yang sedang berlangsung seperti erosi, sedimentasi, deposisi, lambat atau jauh lebih lambat daripada proses geotektonik.
Menurut Vaclav Smil, persoalan pertumbuhan ada pada keputusan-keputusan di tingkat elite negara. Sialnya, mereka jarang berpikir tentang independensi biosfer untuk kelangsungan hidup manusia ketika membuat keputusan mengenai pertumbuhan. Tidak mengherankan apabila tidak ada kebajikan yang menyangkut keberlanjutan biosfer dalam narasi kebijakan untuk menopang pertumbuhan.
Setidaknya, tidak pernah terdengar ada kebijakan mengurangi pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas. Juga tidak ada partai politik besar yang serius mempertimbangkan kembali laju pertumbuhan ekonomi. Pergolakan ekonomi dan politik masih saja untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya alam, baik melalui peraturan maupun tekanan politik.
Tentu ada juga perkecualian. Ada harapan baru ketika tinjauan-tinjauan kepemimpinan kepala daerah yang dengan dedikasi mereka menjalankan kepedulian, ketelitian, kreativitas serta keberanian menghadapi tekanan maupun hambatan yang sedang dijalankan. Kuncinya menyajikan fakta perbaikan bagi masyarakat, melalui kemampuan menghalau penghalangnya, baik yang gelap maupun yang terang.
Kunci itulah yang menjadi titik tekan dalam buku ini. Dengan pertanyaan, bagaimana para pemimpin berstrategi untuk mewujudkan perbaikan fakta-fakta yang dibutuhkan masyarakat luas dan bukan sekedar memenuhi hasil-hasil kerja yang dinilai secara administratif dan berjangka pendek.
Tentu saja, perbaikan keadaan masyarakat di suatu negara tidak hanya tergantung pada kebijakan publik yang ditentukan dan dijalankan oleh para pemimpin eksekutif itu. Oleh karena itu dalam buku ini, titik tekan tersebut diletakkan pada tema-tema lebih luas mulai dari persoalan etika dan peran ilmu pengetahuan, soal-soal praktis di lapangan mengenai lingkungan hidup, kehutanan dan konservasi, serta institusi dan birokrasinya maupun bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja memberi peluang atau sebaliknya memberi tekanan terhadap berbagai kebutuhan masyarakat secara adil.
Buku “Dosa dan Masa Depan planet Kita” dapat dikatakan sebagai penerus perjalanan sekitar tiga tahun setelah berbagai pengalaman yang sudah dituangkan dalam buku sebelumnya, yaitu “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan”. Dalam buku ini problematikanya hampir serupa, bahkan muncul berbagai bentuk tambahan permasalahan baru.
Persoalan tata kelola, khususnya korupsi, terbukti telah membelenggu upaya-upaya mensejahterakan masyarakat melalui segenap tindakan yang menggerogoti kekayaan negara, menguntungkan pihak tertentu atau melawan hukum untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Hal itu tidak ubahnya dengan persoalan birokrasi, yang cenderung tidak melihat kebutuhan masyarakat sebagai outcomepembangunan, karena para birokrat dibesarkan untuk mematuhi administrasi kegiatan dan keuangan, sedangkan fakta-fakta yang dibutuhkan masyarakat cenderung hanya diasumsikan.
Demikian pula, gambar besar politik kebijakan masih mengarah pada penghapusan perlindungan terhadap kebutuhan publik yang rendah dukungan politiknya, seperti upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup maupun kebutuhan masyarakat miskin.
Selain adanya kepentingan yang tidak membela kebutuhan masyarakat luas, dengan kata lain, tidak menghiraukan “dosa yang terstruktur”, maka dapat diinterpretasikan bahwa titik-titik pembangunan yang memerlukan ketajaman hati dan pikiran telah teperdaya.
Lemahnya pikiran dan budi itu antara lain juga disebabkan oleh terbatasnya kadar pengetahuan untuk memahami fenomena maupun interaksi antara alam dan manusia yang kian hari kian kompleks, sehingga argumen-argumen baru untuk memperbaiki birokrasi maupun pemerintahan lebih luas relatif terbengkalai.
Keterbatasan ilmu pengetahuan itu, atau sekadar menggunakan mono disiplin untuk menghadapi masalah yang kompleks, sangat nyata ditandai oleh suatu pengertian yang ada dalam kehidupan masyarakat—termasuk di dalamnya para ahli, bahwa korupsi, birokrasi maupun politik bukanlah ranah ilmu pengetahuan yang perlu dikaitkan dengan ilmu-ilmu ke-alam-an yang selama ini menjadi dasar penetapan konsep-konsep kelestarian.
Keterbatasan pengetahuan yang melahirkan kebenaran parsial telah terbukti—bukan hanya melahirkan ketidak-mampuan memecahkan masalah—tidak mampu membangun integritas ilmu-pengetahuan itu sendiri di tengah kepentingan yang terus berkembang.
Dengan mengupas stanza ketiga lagu Indonesia Raya—yang tidak pernah diperdengarkan: “S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya, Pulaunya, lautnya, semuanya; Majulah Negrinya, Majulah pandunya, Untuk Indonesia Raya”,amanat untuk menyelamatkan penguasaan agraria, yakni seluruh kandungan kekayaan alam (tanah, laut, hingga luar angkasa) untuk memajukan negara.
Adalah mustahil apabila maksud memajukan negara dijalankan oleh pemerintahan yang korup, birokrasi yang tidak efektif, maupun politik kebijakan yang mendorong ketidakadilan. Salah satu cara mewujudkannya, yaitu dengan membuka fakta-fakta, bukan hanya fakta yang dapat dilihat dan didengar, tetapi juga fakta yang dapat dibuka hanya melalui analisis dengan segenap ilmu pengetahuan. Masa depan planet kita mungkin sangat tergantung pada keterbukaan fakta-fakta ini.
Seluruh naskah dalam buku ini diperoleh dari pengalaman langsung dari berbagai bentuk percakapan formal maupun informal, terbuka ataupun tertutup; ataupun dari tinjauan lapangan, seminar, rapat maupun pertemuan dengan informan penelitian, dengan langsung menyajikan apa yang dibicarakan ataupun menyajikan apa di balik yang dibicarakan. Sebagian besar naskah itu sudah diterbitkan secara daring di ForestDigest.com, selain beberapa diantaranya telah diterbitkan oleh media—koran dan majalah populer—sebelumnya.
Sepanjang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, buku ini semoga menjadi relevan, karena percaturannya lekat dengan perilaku manusia yang sangat ditentukan oleh pengetahuan, kepentingan maupun berbagai jaringan yang melibatkannya. Semoga buku ini bermanfaat buat Anda.
Pemesanan buku "Dosa dan Masa Depan Planet Kita" melalui tautan ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :