DALAM dokumen NDC baru, untuk pertama kalinya, Indonesia memasukkan manajemen laut lestari dalam program mitigasi dan adaptasi mencegah krisis iklim. Sektor perairan selama ini masuk ke dalam sektor kehutanan, meski tak terlalu menonjol karena pencegahan emisi karbon lebih condong pada manajemen lahan.
Laut dan pesisir paling terkena dampak pertama dalam krisis iklim. Kenaikan suhu bumi akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca segera mencairkan es di Kutub Utara yang membuat muka air laut naik. Menurut studi di jurnal Nature siklus kenaikan air laut satu abad tak berlaku lagi karena rob akan terjadi hampir setiap tahun.
PBB menghitung muka air laut naik 3 milimeter per tahun. Permukiman pesisir yang paling rentan terkena dampaknya. Karena itu, menurut Rektor IPB Arif Satria, manajemen laut lestari salah satunya melindungi hutan mangrove. “Mangrove juga mampu menyerap karbon lima kali lebih kuat dibanding hutan dataran tinggi,” kata Arif pada 4 September 2021.
Dengan luas mangrove Indonesia 3 juta hektare, karbon yang bisa diserap ekosistem ini sebanyak 124 juta ton setara CO2. Karena itu, menurut Arif, jika Indonesia bisa mencegah deforestasi hutan mangrove, setidaknya akan berkontribusi sebanyak 25% dalam mitigasi krisis iklim tahunan.
Apalagi, ancaman lain manajemen laut adalah sampah. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 37% sampah plastik dari daratan berakhir di laut. Sampah plastik menempati 15% dari produksi sampah Indonesia rata-rata 64 juta ton setahun. Sebanyak 48% berasal dari rumah tangga.
Karena itu PBB menganggap manajemen laut menjadi penting dalam mitigasi krisis iklim. Tak hanya menghasilkan metana yang 25 kali lipat mencederai atmosfer dibanding karbon dioksida, sampah juga bisa membunuh biota laut. Mikroplastik yang terurai dimakan ikan dan terjadi di meja makan manusia.
PBB akan menggelar United Nation Environment Assembly 5.2 (UNEA 5.2) pada Maret 2022 di Nairobi, Kenya. Untuk menyongsong kegiatan tersebut, UNEA membuat forum dialog level tinggi dengan mengundang menteri lingkungan hidup pada 2 September 2021. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Tema dialog itu “Ministerial Conference on Marine Litter and Plastic Pollution”. Acara tersebut dihadiri utusan dari Ekuador, Jerman, Ghana, dan Vietnam, dan 40 pejabat setingkat menteri/wakil menteri bidang lingkungan hidup dan kehutanan, 16 duta besar, serta berbagai pemimpin entitas PBB dan lembaga internasional pemerhati lingkungan.
“Indonesia bekerja mewujudkan komitmen global dalam penanggulangan polusi plastik,” kata Siti. Wujud komitmen itu, kata Siti, berupa dukungan pada berbagai perundingan kerangka kerja global penanggulangan sampah laut dan polusi plastik.
Selain itu, Siti menunjukkan berdirinya Pusat Pengembangan Kapasitas Kebersihan Laut di Bali sebagai komitmen serius Indonesia dalam manajemen laut lestari terutama dari ancaman sampah plastik. Lembaga ini akan memantau tanggung jawab produsen plastik agar selaras dengan program pemerintah menguranginya.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebanyak 270.000-590.000 ton sampah masuk ke laut dan perairan. Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi sampah plastik di lautan hingga 70% pada 2025 melalui Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN PSL).
Rencana aksi yang akan dilaksanakan pada periode 2018-2025 dengan 5 strategi, 13 program, dan 60 kegiatan yang melibatkan 5 kelompok kerja (pokja) dari 17 kementerian. “Sinergi lembaga dan kementerian penting sekali dalam mencapai target itu,” kata Siti.
Untuk mewujudkan itu, Siti membuat lima strategi yaitu (1) gerakan nasional untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan, (2) pengelolaan sampah di darat, (3) pengelolaan sampah di pantai dan pesisir, (4) mekanisme pendanaan, penguatan institusi dan penegakan hukum, dan (5) riset dan pengembangan.
Siti mengklaim bahwa sudah ada 70 kebijakan daerah dalam pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang terdiri dari 2 peraturan tingkat provinsi berupa peraturan gubernur dan 68 peraturan tingkat kabupaten/kota berupa peraturan bupati atau peraturan wali kota.
Bagaimana implementasinya? Jika sumber sampah berasal dari rumah tangga, sosialisasi dan kebijakan yang memaksa rumah tangga agar tak membuangnya secara sembarangan adalah kuncinya. Pemerintah mesti berkampanye mengubah “buanglah sampah pada tempatnya” menjadi “tak membuat sampah sejak dalam pikiran”.
Jika pun tetap membuat sampah, pemerintah mesti siap dengan seperangkat kebijakan dan tata cara mendaurulangnya. Sebab, tanpa sosialisasi, kesadaran, dan kesiapan proses daur ulang, masyarakat akan cenderung membuang sampahnya ke sungai. Seperti penduduk Bogor yang membuang sampah ke Ciliwung, sungai yang mengalir ke Laut Jawa.
Kota Bogor memproduksi 600 ton sampah per hari. Ini catatan tempat penampungan akhir. Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor memperkirakan ada 30 ton sampah yang dibuang ke sungai Ciliwung di 87 titik pada 13 kelurahan. Maka cara mengurangi sampah di laut paling krusial adalah peran rumah tangga dan pemerintah daerah.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :