Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 September 2021

Salah Sangka Kepada Harimau

Kita acap menggolongkan harimau sebagai hewan buas. Secara naluri mereka tidak menyerang.

Harimau Sumatera di Hutan Harapan, Jambi (Foto: Asep Ayat/FD)

KEMATIAN satu keluarga harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di hutan lindung kawasan ekosistem Leuser Aceh Selatan pada 25 Agustus 2021 menunjukkan ada yang keliru dalam cara kita memperlakukan hewan ini. 

Dari uji nekropsi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, satu induk harimau dan dua anaknya (jantan dan betina) tewas akibat infeksi kawat jerat sepanjang 10 meter. Kawat itu diduga dipasang penduduk untuk menghalau babi atau hewan yang dianggap mengganggu perkebunan.

Konstruksi Kayu

Lokasi kematian keluarga harimau berada di kawasan hutan lindung yang bersebelahan dengan Area Penggunaan Lain (APL). Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto menjelaskan daerah tersebut merupakan areal jelajah harimau Sumatera. 

Di Aceh, kantong ekologi harimau Sumatera berada di wilayah Hutan Ulu Masen dan Leuseur. Berdasarkan data monitoring 2013 dan 2015, kata Agus, ada sekitar 150 sampai 200 individu harimau Sumatera di Aceh. BKSDA sedang menyurvei jumlah terbaru harimau Sumatera di wilayah ini.

Hingga kini belum jelas motif pemasangan kawat itu karena hutan lindung tersebut berbatasan dengan area perkebunan masyarakat. Ada dugaan bahwa kawat dipasang para pemburu harimau.

Perburuan terhadap hewan pemangsa tertinggi dalam rantai makanan ini masih marak. Menurut Erlinda C. Kartika, peneliti harimau, pemakaian jerat untuk menghalau babi apalagi menjerat harimau oleh pemburu menunjukkan ada kekeliruan pandangan terhadap hewan. “Babi sekali pun harus dilindungi karena mereka hidup di hutan lindung,” katanya. 

Harimau Indonesia terdiri dari tiga subspecies, dua di antaranya dinyatakan punah, yakni harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica). 

Harimau Bali dinyatakan punah sejak 1940-an akibat perburuan sejak zaman penjajahan di Taman Nasional Bali Barat. Sedangkan Harimau Jawa, yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan subspesies lain, dinyatakan punah sejak 1980-an, meskipun secara genetis para peneliti harimau Jawa belum hilang. Beberapa waktu lalu dilaporkan ada yang melihat kemunculan harimau Jawa. 

Menurut Erlinda, konservasi harimau berangkat dari konsep manusia dan satwa bisa hidup berdampingan. Toleransi keduanya, kata dia, akan memberikan efek domino pada keberlangsungan harimau dan masyarakat. “Secara naluriah, harimau tidak akan menyerang manusia,” kata Erlinda, yang sedang menempuh studi doktor di Wageningen University Belanda ini. 

Jika pun menyerang, kata Erlinda, umumnya terjadi pada malam atau petang ketika mereka merasa terancam. Dalam studi-studi, harimau tidak menyerang manusia dalam kelompok 2-3 orang dengan posisi berdiri. Dengan memahami tabiat harimau ini, kata Erlinda, manusia tidak akan menggolongkan hewan ini sebagai hewan berbahaya. 

Mereka menjadi buas ketika habitatnya hilang. Studi juga menunjukkan bahwa deforestasi mengakibatkan konflik manusia dan harimau kian sering terjadi. Harimau yang kehilangan habitat karena hutan dikonversi, turun ke permukiman penduduk untuk mencari pakan. Daya jelajahnya yang luas membuat mereka masuk ke permukiman akibat hutan yang menyempit.

Jika harimau Indonesia punah, spesies tersisa tinggal di Nepal, Bangladesh, India, dan Afrika, yang diperkirakan jumlahnya sekitar 4.000 individu. Kehilangan harimau akan mendorong naiknya populasi herbivora, hewan pemakan tumbuhan. Kenaikan hewan herbivora mengancam hutan karena kebutuhan pakan. Akibatnya, hutan terancam oleh aktivitas manusia dan satwa. 

Dua tahun lalu, pemerintah India melaporkan bahwa populasi harimau di negara itu bertambah 700 individu dalam empat tahun. Meskipun penambahan ini diduga karena metode perhitungan yang lebih baik, konservasi dan penambahan luas habitat yang membuat populasi harimau Bengal naik.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan IPB bekerja di lembaga konsultan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain