AGROFORESTRI menjadi teknik menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan negara. Istilah lokal agroforestri adalah wanatani (wana (forest)= hutan; tani (agro) = pertanian). Sehingga agroforestri adalah manajemen areal berhutan yang memadukan tanaman kayu dan komoditas pertanian.
Ada beberapa regulasi yang mengatur praktik agroforestri. Antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan. Menurut aturan ini, rehabilitasi berupa reboisasi melalui agroforestri pada lahan kritis yang terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan areal yang terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Lalu ada PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Pasal 129 ayat 1 menyebutkan agroforestri adalah bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hutan lindung. Turunan aaturan ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2021 tentang perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan kawasan hutan, dan perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan.
Pasal 485 ayat 1 dan 2 aturan menteri itu menyebutkan bahwa penyediaan kawasan hutan untuk lumbung pangan (food estate) pada a) kawasan hutan lindung; dan/atau b) kawasan hutan produksi. Kawasan hutan lindung untuk food estateadalah hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK menerjemahkannya sebagai hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan. Pemerintah mengklaim food estate akan memulihkan hutan karena mengombinasikan tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak, dan perikanan.
Masalahnya, format agroforestri seperti apa yang bisa dilakukan dalam kawasan hutan? Berapa persen komposisi kehutanan dan pertanian? Berapa komposisi vegetasi kayu-kayuan (kehutanan) dan berapa yang boleh ditanam untuk vegetasi perkebunan?
Menurut peraturan Menteri LHK Nomor P.105/2018 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung, pemberian insentif, serta pembinaan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, agroforestri di hutan lindung atau hutan produksi meliputi: a) penanaman tanaman pokok dengan jenis tanaman kayu-kayuan dan/atau pohon hasil hutan bukan kayu dengan jumlah tanaman paling sedikit 400 batang per hektare; dan b) penanaman tanaman sela, pagar, sekat bakar berupa tanaman lamtoro, gamal, secang, kopi, kaliandra.
Jumlah tanaman sela, pagar, sekat bakar paling sedikit 25% dari tanaman pokok. Bibit tanaman berasal dari benih, bibit semai, stek, stump, atau rimpang.
Artinya, dalam satu hektare kawasan hutan untuk agroforestri, komposisinya 75% tanaman pokok dan 25 % tanaman sela, pagar, dan sekat bakar. Maka, jika vegetasi berjumlah 400 batang dalam satu hektare, dengan jarak tanam 5 x 5 meter, jumlah tanaman pokok 300 batang dan tanaman sela 100 batang.
Untuk daerah padat penduduk seperti Jawa dan Bali, tanaman pokok hutan bisa dicampur dengan jenis-jenis multifungsi seperti buah-buahan dengan komposisi 70:30. Ini aturan umum. Praktiknya bisa sebagai berikut:
Di hutan produksi, pada awal penanaman, ruang antar tanaman 5 x 5 meter bisa untuk tanaman semusim berdaur pendek, seperti jagung, padi lahan kering (gogo), kedelai. Tumpang sari ini bisa dilakukan dari tanaman pokok masih anakan (seedling) sampai berbentuk sapihan (sapling) yang tingginya 1,5 meter atau lebih hingga 4-8 tahun.
Pada tahun ke-9, tanaman pokok sudah berbentuk tiang (pole). Tumpang sari dengan tanaman semusim masih bisa dengan skala terbatas. Syaratnya, tidak mengganggu tanaman pokok dalam bersaing mencari nutrisi di dalam tanah.
Pada tahun ke-13, ketika tanaman pokok menjadi pohon dewasa berdiameter di atas 35 sentimeter, tumpang sari harus dihentikan karena sudah tidak ada lagi ruang terbuka dan bebas dari sinar matahari. Tanaman agroforestri yang cocok adalah jenis yang butuh naungan seperti empon-empon, tanaman obat, tanaman hias, jamur.
Sementara untuk kawasan hutan lindung, meski agroforestri di hutan lindung diizinkan, dalam praktiknya kegiatan ini punya tingkat kesulitan cukup tinggi. Jarak tanaman pokok maupun sela/pagar/sekat bakar harus lebih rapat dibandingkan kawasan hutan produksi.
Jarak tanam bisa dibuat 2 x 3 meter atau 3 x 3 meter, dengan muatan tanaman satu hektare minimal 1.500 batang. Untuk menjaganya perlu teknik konservasi tanah meliputi rorak (saluran buntu), saluran pembuangan air (SPA), terjunan air, dan/atau penanaman rumput.
Bagaimana dengan sawit? Peraturan Menteri LHK Nomor P.9/2021 mewajibkan pemilik perorangan menerapkan jangka benah, yakni menanam 100 pohon per hektare selama tiga tahun. Agroforestri sawit di kawasan hutan untuk perhutanan sosial maksimal 5 hektare per kepala keluarga.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :