KORUPSI sumber daya alam menjadi problem pelik hari ini. Javier Blas dan Jack Farchy, dalam The World for Sale, menulis bahwa siapa pun yang bisa mengontrol sumber daya alam, ia akan mengendalikan kekuatan politik dan ekonomi. Artinya, sumber daya alam selalu terkait kepada keduanya, berikut aktor-aktornya.
Karena politik dan ekonomi adalah tulang punggung mengelola sebuah negara, para pedagang komoditas sumber daya alam selalu terkait erat dengan para pejabat dan birokrasi. Dari situlah korupsi acap terjadi. The World for Sale memaparkan dengan cukup detail sejarah korupsi sumber daya alam di seluruh dunia, sejak dari minyak hingga komoditas pertanian.
Di Indonesia, cukup banyak penelitian yang mengupas jejaring korupsi sumber daya alam. Dari daerah hingga pemerintah pusat, dari pengusaha kecil hingga konglomerat kakap. Korupsi itu melahirkan pengelolaan lingkungan yang tak lestari dan melahirkan biaya eksternalitas, berupa pencemaran, bencana, hingga memicu krisis iklim akibat penggundulan hutan atau kebakaran.
Sujanarko, mantan Direktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi sumber daya alam memicu ketimpangan substantif. Menurut pengalamannya selama menjadi direktur KPK, korupsi sumber daya alam menggerogoti demokrasi karena melemahkan peran trias politica, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berbicara dalam peluncuran buku karya Hariadi Kartodihardjo “Dosa dan Masa Depan Planet Kita” yang diterbitkan Forest Digest pada 4 September 2021, menurut Sujanarko, ada empat penyebab korupsi sumber daya alam: hilangnya adab, absennya keberpihakan cendekiawan kepada lingkungan dan masyarakat kecil, keadilan yang terbelenggu oleh hukum positif, serta alam semata dilihat sebagai komoditas.
Hilangnya adab membuat pelanggaran terjadi bahkan sejak pembentukan undang-undang. Menurut Sujanarko, pembuatan aturan atau undang-undang mengesampingkan tahap penting yakni konsultasi publik. Pembuat kebijakan menutup diri dari keterlibatan masyarakat turut serta menyumbangkan pikiran pada pembuatan aturan yang akan berpengaruh pada hidup mereka.
Sujanarko mencontohkan pembuatan UU Cipta Kerja, yang digelar diam-diam di hotel, dilakukan di masa pandemi, dokumen yang misterius, hingga tak melibatkan para ahli. “Pasal seharusnya dihilangkan tetap ada, pasal abu-abu juga ada, bahkan ada pasal yang pro terhadap satu golongan saja, yakni oligarki,” kata dia.
Para cendekiawan yang seharusnya juga berperan sebagai suluh dan pagar bagi kecenderungan pemain politik mengutamakan kepentingan kelompoknya juga absen mengawalnya. Bahkan para cendekiawan acap melakukan keberpihakan kepada oligarki.
Ia mencontohkan, suatu kali KPK menganalisis berbagai riset untuk menentukan pencegahan korupsi sumber daya alam. KPK menemukan bahwa banyak universitas yang mendapat sokongan dana dari perusahaan besar untuk mendukung tujuan perusahaan memakai paradigma dan data yang salah. “Akibatnya, negara dirugikan ratusan miliar,” kata dia.
Problem lain yang serius adalah keadilan yang terbelenggu pada positivisme hukum. Hukum yang tidak adil, karena dibuat berpihak pada satu golongan, menjadi dasar tindakan negara padahal merugikan orang banyak. “Karena itu ada anggapan jika sudah sesuai pasal, perkara selesai padahal tidak adil,” kata dia.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani di sekitar hutan, adalah contoh-contoh penerapan hukum yang melahirkan ketidakadilan. Masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah dipaksa keluar dari wilayah adat, karena wilayah adatnya belum diakui oleh peraturan daerah, sementara pemerintah memberikan konsesi perusahaan kelapa sawit.
Menurut Sujanarko, masyarakat adat terkesampingkan dalam pengelolaan sumber daya alam karena kecenderungan pemerintah pada investasi besar untuk memompa pertumbuhan ekonomi “Selain itu, valuasi pada wilayah hutan juga tidak tercatat dengan baik,” katanya. “Bagaimana bisa Kementerian Keuangan menghitung potensi di dalam tanah seperti tambang, tetapi tidak bisa menilai yang ada di atasnya, yaitu sumber daya hutan?”
Jika dihitung, kata Sujanarko, sumber daya hutan jauh lebih besar nilainya karena selain kayu, nilai hasil hutan bukan kayu jauh lebih besar, yakni karbon, keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, budaya masyarakat adat.
“Profesor Hariadi mengingatkan kita semua bahwa di depan mata kita akan ada kerusakan yang cukup dahsyat akibat korupsi sumber daya alam dengan adanya undang-undang baru, yaitu KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :