Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 September 2021

Indonesia Hentikan Perdagangan Karbon dengan Norwegia

Pemerintah Indonesia menghentikan kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia. Apa alasannya?

Menangkap karbon (Foto: R. Eko Tjahjono/FD)

SETELAH berlangsung selama 11 tahun, pemerintah Indonesia menghentikan kerja sama perdagangan karbon melalui skema REDD+ dengan pemerintah Norwegia per 10 September 2021. Kementerian Luar Negeri mengumumkan penghentian ini dalam rilis pada tanggal tersebut.

Indonesia dan Norwegia menjalin kerja sama perdagangan karbon melalui pernyataan kehendak (letter of intent, LoI) pada 2010 melalui kerja sama pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan atau dikenal dengan nama REDD+. 

Menurut rilis tersebut, pengakhiran LoI perdagangan karbon melalui nota diplomatik yang sesuai dengan pasal XIII kesepakatan REDD+. Kementerian Luar Negeri mengirimkannya kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta. “Itu press release resmi dari Kementerian Luar Negeri,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong kepada Forest Digest pada 11 September 2021. “Jadi, itu keputusan resmi.”

Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa keputusan pengakhiran kerja sama itu diambil melalui proses konsultasi intensif.

Salah satu pertimbangan pengakhiran kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia adalah “tidak adanya kemajuan konkret implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran result based payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton setara CO2 untuk periode pengurangan emisi 2016/2017". Padahal, menurut rilis itu, perhitungan pengurangan emisi tersebut sudah diverifikasi lembaga internasional.

Tahun lalu, pemerintah Norwegia mengumumkan akan membayar pengurangan emisi karbon Indonesia paling telat September-November 2020. Sesuai perhitungan nilainya 530 juta krona atau US$ 56 juta dolar yang setara Rp 813 miliar.

“Indonesia telah memulai perjalanan yang luar biasa, dengan reformasi pemanfaatan hutan dan lahan lewat hasil yang mengesankan,” kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Sveinung Rotevatn dalam rilis yang dipublikasikan situs resmi pemerintahan Norwegia, Regjeringen.no. pada 3 Juli 2020.

Menurut Rotevatn, jumlah penurunan emisi yang berhasil diturunkan Indonesia pada 2016-2017 sebanyak 11,2 juta ton setara CO2. Pemerintah Norwegia menghargai tiap ton CO2 yang bisa dikurangi Indonesia sebesar US$ 5.

Pemerintah Norwegia menilai Indonesia bisa mengendalikan kebakaran hutan dan lahan setelah kebakaran hebat yang melanda rawa gambut Indonesia pada 2015. Pemerintah Norwegia juga secara khusus menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo yang menerbitkan moratorium izin baru perkebunan di rawa gambut.

Dalam kerja sama menurunkan emisi antara kedua negara, kini memasuki fase ketiga atau fase pembayaran berbasis hasil setelah dua fase sebelum yang meliputi tahap persiapan (2011-2016), fase transformasi dalam meningkatkan mitigasi penurunan emisi (2016-2020). Menurut Rotevatn, pemerintahnya segera mentransfer dana penurunan emisi 2016-2017 setelah perjanjian hibah ditandatangani pada September 2020.

Dana tersebut akan ditransfer ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), lembaga yang menjadi syarat perdagangan karbon. Setelah itu kedua negara akan membuat adendum perjanjian lanjutan. Total hibah yang disediakan Norwegia untuk mitigasi penurunan emisi dalam rangka mencegah pemanasan global sebesar 6 miliar krona atau Rp 1,53 triliun.

Nyatanya, hingga pertengahan tahun ini pembayaran itu tak kunjung terealisasi. Pada Februari lalu, Alue Dohong menjelaskan dalam rilis bahwa pemerintah Indonesia sudah memenuhi semua tahap perjanjian perdagangan karbon dengan Norwegia. “Namun, pembayaran belum terealisasi,” katanya. “Indonesia sudah berkomitmen, BPDLH sudah siap, syarat-syarat sudah kita penuhi tinggal kita tunggu komitmen pemerintah Norwegia.”

Tak hanya mengumumkan secara bersama antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bersama Duta Besar Norwegia dalam konferensi pers 27 Mei 2020, kesepakatan perdagangan karbon juga sudah diformalkan lewat rapat konsultasi (JCG) antara kedua negara pada 2 Juli 2021.

Dana dari Norwegia akan dipakai untuk membiayai memulihkan mangrove dan rawa gambut yang terdegradasi. Dana perdagangan karbon akan masuk ke BPDLH dan dikelola bersama lungsuran dana lain yang sudah dikelola dari dana reboisasi sebesar Rp 2 triliun. BPDLH merupakan peleburan Badan Layanan Umum KLHK yang sebelumnya hanya mengelola dana reboisasi—pungutan dana dari industri kehutanan sebagai pengganti pohon yang ditebang.

Selain dengan Norwegia, Indonesia juga menjalin kerja sama perdagangan karbon dengan Green Climate Fund untuk pengurangan emisi pada 2014-2016 sebesar 20 juta ton setara CO2 senilai US$ 103,8 juta. Juga perdagangan karbon dengan Bank Dunia di Kalimantan Timur sebesar 22 juta ton senilai US$ 110 juta melalui tiga tahap pembayaran untuk periode 2021-2025.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain