Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 September 2021

Perdagangan Karbon yang Cedera

Penghentian kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia mencederai manfaat ekonomi mitigasi krisis iklim. Verifikasi mesti ketat.

Hutan mangrove di Kaledupa, Sulawesi Tenggara (Foto: Dok. Tim KKN-PPM UGM Kaledupa, 2018)

BERITA mengejutkan akhir pekan lalu: pemerintah menghentikan kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia per 10 September 2021. Kerja sama selama hampir sebelas tahun itu berakhir dengan pengiriman nota diplomatik Kementerian Luar Negeri kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.

Pada Juli lalu, Indonesia juga menyetop proyek karbon di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara, dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah. Pemerintah menganggap dua proyek konservasi di taman nasional itu ilegal karena menyertakan perhitungan karbon.

Konstruksi Kayu

Betapa menyedihkan peristiwa-peristiwa ini karena Indonesia dipermalukan dalam perdagangan karbon, salah satu mitigasi krisis iklim karena penghindaran emisi mendapatkan penghargaan. Jika dua proyek itu dihela oleh dua LSM internasional, tidak demikian dengan proyek karbon Norwegia.

Perdagangan karbon Indonesia-Norwegia terjadi melalui kerja sama antar pemerintah. Sehingga, pengakhiran LoI atau letter of intent ini menerbitkan pelbagai pertanyaan: apakah pemerintah kurang hati-hati dan terlalu cepat percaya dengan hitung-hitungan dolar dalam perdagangan karbon? Apakah tak ada verifikasi integritas, kapasitas, dan pengalaman negara yang mengajukan kerja sama perdagangan karbon?

Perdagangan karbon dengan Norwegia dimulai pada 26 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan pemerintah Kerajaan Norwegia menandatangani pernyataan kehendak (LoI) tentang pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan atau reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation (REDD+).

Ada beberapa syarat yang diminta pemerintah Norwegia dalam LoI tersebut. Antara lain menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium). Permintaan ini telah dipenuhi, bahkan kebijakan moratorium diperpanjang dan kemudian dipermanenkan, meski dalam LoI moratorium hanya dua tahun.

Pemenuhan semua syarat itu membuat Norwegia akhirnya setuju menyalurkan dana kompensasi berdasarkan result based payment atau pembayaran berbasis kinerja tahap pertama dari total US$ 1 miliar. Untuk tahap pertama besarnya US$ 56 juta berdasarkan pengurangan emisi periode 2016-2017 sebanyak 11,23 juta ton setara CO2.

Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale dalam pernyataan bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 27 Mei 2020 menyatakan Norwegia akan segera menyalurkan dana kompensasi jika pemerintah Indonesia mendirikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup  (BPDLH). Lembaga ini terbentuk pada 2019 dan mulai beroperasi Oktober 2020.

Pada 4 Maret 2021, pemerintah Norwegia menyatakan dana kompensasi pengurangan emisi akan segera ditransfer. Namun, rencana itu masih didiskusikan antar kedua pemerintah sampai akhirnya muncul rilis Kementerian Luar Negeri yang mengakhiri kerja sama itu dengan alasan tak ada kemajuan dalam pembayaran berbasis kinerja REDD+.

Selain mempermalukan, pengakhiran kerja sama ini mencoreng skema perdagangan karbon yang digadang-gadang sebagai cara baru mitigasi krisis iklim. Konservasi hutan dan lingkungan akan memberikan manfaat ekonomi sehingga akan menggantikan eksploitasi untuk mendapatkan manfaat yang sama.

Negara-negara berkembang di daerah tropis yang masih memiliki karbon kredit yang banyak berpotensi menjual karbonnya kepada negara-negara industri yang memproduksi banyak emisi. Namun, perjanjian ini sebenarnya hanya di atas kertas belaka. Uangnya tak langsung tersedia. Negara yang membeli serapan karbon Indonesia akan melihat dalam beberapa tahun apakah konservasi benar-benar menyerap emisi karbon agar tak menjadi gas rumah kaca.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan Indonesia punya potensi besar dalam perdagangan karbon ini yang nilainya US$ 82-100 miliar. Angka ini berasal dari 75-80% penyerapan emisi karbon hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang.

Di luar pemerintah, swasta dan masyarakat sebetulnya relatif berhasil. Masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Jambi bisa menjual karbon dari konservasi hutan seluas 5.339 hektare di Kabupaten Bungo. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, LSM yang mendampingi masyarakat, pada 2018 mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.

Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare. Ada dua perusahaan membeli penyerapan karbon itu sebesar US$ 6 per ton untuk 6.000 ton cadangan karbon Bujang Raba.

Selain manfaat ekonomi, perdagangan karbon masih kontroversial karena menjadi semacam cuci-dosa para produsen emisi. Mereka bisa terus menyakiti bumi karena bisa membeli penyerapannya di negara lain. Karena itu perdagangan karbon yang benar harus diimbangi dengan regulasi memaksa industri atau negara industri beralih ke proses produksi, bahan bakar, dan teknologi yang ramah lingkungan dengan sesedikit mungkin memproduksi emisi.

Emisi karbon akan berubah menjadi gas rumah kaca dan mencederai atmosfer jika tak ditahan di bumi melalui ekosistem, pohon, tanaman, dan laut yang lestari. Atmosfer yang cedera membuat selubung bumi ini tak lagi sanggup menyerap emisi dan panas matahari. Akibatnya, panas itu akan pelan-pelan menaikkan suhu bumi. Kita menyebutnya krisis iklim.

Pengalaman kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia menjadi pembelajaran berharga. Tak semua yang terlihat baik dan memberikan manfaat ekonomi tereksekusi sesuai rencana.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain