Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 September 2021

Putus dari Norwegia, Bagaimana Pengurangan Emisi ke Depan?

Setelah putus dari Norwegia, bagaimana komitmen pengurangan emisi Indonesia?

Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Fakfak, Papua Barat (Foto: Iwan Kurniawan/Yayasan EcoNusa)

PEMERINTAH memutuskan kerja sama pengurangan emisi dengan Norwegia per 10 September 2021. Setelah hampir sebelas tahun berkhidmat pada pernyataan kehendak (letter of intent), kerja sama pengurangan emisi melalui REDD+ berakhir akibat “tak ada kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia membayar pengurangan emisi sebesar 11,2 juta ton setara CO2 untuk periode 2016-2017”.

Menanggapi pemutusan itu, Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa pemutusan itu sebagai kehancuran kerja sama dan komitmen kedua negara mengambil aksi lebih serius melawan krisis iklim. “Melihat hasilnya, kesepakatan ini jauh dari target mencegah kenaikan suhu di bawah 20 Celsius,” katanya pada 13 September 2021. 

Kerja sama pengurangan emisi ini, secara sederhana disebut perdagangan karbon. Meski sedikit berbeda dari pengertian perdagangan karbon atau perdagangan emisi di pasar sukarela, perlindungan hutan yang menghindarkan emisi menjadi gas rumah kaca itu mendapatkan manfaat ekonomi. Menilik jumlah yang dijanjikan Norwegia, harga karbon yang bisa diserap dari REDD+ itu sebesar US$ 5 per ton.

Greenpeace Indonesia, kata Kiki, prihatin dengan apa yang akan terjadi terhadap ambisi dalam NDC Indonesia setelah pengakhiran kerja sama ini. Soalnya, komitmen orisinal Indonesia adalah mengurangi emisi sebanyak 26% pada 2020 dengan usaha sendiri dan 41% jika ada bantuan asing. Kerja sama Norwegia bagian dari target paling tinggi ini. “Apakah terminasi dengan partner terbesar Indonesia ini menandakan kurangnya ambisi untuk mencapai target reduksi emisi sebesar 41%?”, ucap Kiki.

Menurut Kiki, kerja sama pengurangan emisi tak semata perdagangan karbon. Secara umum, kerja sama tersebut berada dalam perjanjian iklim internasional berupa kewajiban negara-negara maju membantu dengan dana dan transfer teknologi mengurangi emisi iklim di negara lain. “Kerja sama ini harus genuine, bukan dalam bentuk perdagangan karbon,” kata Kiki.

Karena itu, menurut Kiki, kesepakatan tersebut seharusnya mencakup prinsip bahwa semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat adat, lokal, dan masyarakat sipil mendapat kesempatan berpartisipasi dalam program-program kegiatan perlindungan hutan. “Sayangnya, kurangnya transparan,” kata dia.

Kiki mencontohkan tindakan pemerintah pusat yang menutup akses data dan informasi yang krusial ke publik tentang pemberian lahan, atau hak guna usaha perusahaan kehutanan dan perkebunan, meskipun Mahkamah Agung telah membuat putusa hukum agar pemerintah membukanya kepada publik.

Dalam hal kebijakan, rancangan undang-undang energi baru dan terbarukan menandakan bahwa pada 2050, Indonesia masih menggunakan batu bara, meski dalam bentuk baru seperti gasifikasi batu bara, coal liquefaction, dan coal bed methane.

Pemakaian batu bara juga masih ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional melalui skema pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim. Batu bara masih menjadi bahan utama bahan bakar sebesar 38% dari kapasitas pembangkit listrik pada 2050, selain pemakaian biodiesel yang menambah deforestasi.

Di tengah ancaman bersama tentang krisis iklim, negara-negara seharusnya berkolaborasi mencegahnya. Karena itu, menurut Kiki, pemutusan kerja sama Indonesia-Norwegia ini betolak belakang dari tuntutan zaman. Alih-alih meningkatkan kolaborasi mengurangi emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, kedua negara malah memutuskan kerja sama.

Dalam rilis resmi 10 September 2021, Kementerian Luar Negeri menegaskan bahwa pemutusan kerja sama itu tak akan mengurangi komitmen Indonesia dalam memenuhi target pengurangan emisi. Kementerian Luar Negeri menyinggung capaian menekan laju deforestrasi yang mencapai angka terendah selama 20 tahun pada 2020.

“Kolaborasi antar pemerintah akan mendorong Indonesia melakukan perlindungan hutan dengan target yang lebih ambisius,” kata Kiki. “Kalau melihat LoI dengan Norwegia, masih banyak usaha Indonesia yang harus diperbaiki.”

Kiki melihat kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia bertolak belakang dengan keinginan mengurangi emisi. Selain masih memakai batu bara, UU Cipta Kerja, UU Minerba, cenderung melemahkan perlindungan lingkungan karena condong pada investasi industri ekstraktif yang destruktif terhadap lingkungan.

Selain dengan Norwegia, Indonesia juga menjalin kerja sama pengurangan emisi melalui skema perdagangan karbon dengan Green Climate Fund untuk periode 2014-2016 sebesar 20 juta ton setara CO2 senilai US$ 103,8 juta. Juga perdagangan karbon dengan Bank Dunia di Kalimantan Timur sebesar 22 juta ton senilai US$ 110 juta melalui tiga tahap pembayaran untuk periode 2021-2025.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain