DI era krisis iklim, setiap kebijakan mengandung dua mata pisau: proteksi lingkungan atau menggenjot ekonomi. Salah satu yang dilematis adalah penyediaan biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Strategi pemerintah beralih ke energi baru terbarukan, dengan tak lagi mengandalkan pada energi fosil, berimbas pada deforestasi.
Kelapa sawit adalah perkebunan yang membutuhkan lahan tak sedikit. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memproyeksikan ada kebutuhan lahan hingga 9,3 juta hektare pada 2025 jika pemerintah menggenjot bauran biodiesel 50% dan solar atau yang dikenal dengan nama B50.
Menurut Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM, ekspansi perkebunan kelapa sawit itu akan mengancam target Indonesia menurunkan emisi sebanyak 29% pada 2030. “Meski ada sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), penerapannya masih jauh dari konsep lestari dan perlu evaluasi kembali,” kata Alin dalam sebuah diskusi online pada 10 September 2021. “Apalagi moratorium sawit belum jelas.”
Campuran bahan bakar nabati atau biodiesel adalah strategi menyediakan energi baru dan terbarukan pemerintah Indonesia. Ada tiga skenario mencapainya sejak 2020, yakni B20, B30, dan B50. Selain mengurangi ketergantungan pada energi fosil, biodiesel juga akan menghemat impor solar, dan menekan produksi emisi karbon.
Dalam proyeksi LPEM hingga 2025, deforestasi hanya satu ekses dari kebijakan biodiesel. Dampak lain adalah penghematan devisa dari berkurangnya impor solar. Pemerintah memperkirakan penghematan bersih dari neraca berjalan impor solar jika menerapkan B30 pada 2020-2025 sebesar Rp 112,8 triliun.
LPEM menghitung penghematan itu hanya sebesar Rp 44 triliun. Prediksi yang lebih kecil itu, kata Alin, karena LPEM memasukkan potensi devisa yang hilang akibat berkurangnya nilai ekspor kelapa sawit.
Ekspor kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menjadi unggulan pemasukan devisa bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat sepanjang Januari- Juli 2020 ekspor CPO mencapai nilai US$ 6,2 miliar atau setara dengan Rp 38,4 triliun.
Jika kebijakan biodiesel makin agresif, kebutuhan sawit di dalam negeri otomatis naik. “Apabila perbedaan harga CPO dan harga solar semakin jauh, potensi kehilangan penerimaan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar,” kata Alin. “Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik”. Ujung dari timpangnya neraca perdagangan membuat rupiah tertekan.
Soal lain adalah beban fiskal. Pengembangan biodiesel masih tergantung pada insentif Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Selama ini BPDP-KS mendapatkan dana untuk subsidi dari pungutan ekspor CPO.
Ada beberapa kali perubahan kebijakan dalam pungutan ekspor. Ada masa ketika BPDP-KS tidak mendapatkan penerimaan ketika harga CPO di bawah harga tertentu yang membuat ekspor tak dikenai pungutan untuk mengurangi beban industri. Skema ini membuat subsidi menimbulkan risiko karena tergantung pada harga ekspor, sementara subsidi tergantung berdasarkan perbedaan harga CPO dengan harga solar.
Pemerintah mengalokasikan Rp 2,78 triliun dari APBN untuk BPDP-KS. Anggaran tersebut mesti dipakai BPDP-KS untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan. Menurut Alin, ini kali pertama pemerintah mengalokasikan anggaran langsung ke BPDP-KS, karena pandemi. Idealnya, jika BPDP-KS mandiri mengelola keuangan, subsidi tak menjadi beban pemerintah.
Tata kelola perkebunan sawit menjadi soal lain kebijakan biodiesel akan berdampak pada sektor lain. Ricky Amukti, Engagement Unit Manager Traction Energy Asia, lembaga kajian energi, mengatakan tata kelola sawit tak kunjung bisa berkelanjutan karena rendahnya transparansi, pembukaan lahan, ketenagakerjaan, hingga keterlacakan produk dan rekam jejak efektivitas pengurangan emisi menjadi industri sawit.
Dari perhitungan Traction, emisi pembukaan lahan 20 kali lipat dari emisi yang bisa ditekan jika memakai biodiesel. Menurut Ricky, emisi biodiesel sebesar sebesar 3,14 kilogram setara CO2 per liter, sementara alih fungsi hutan primer 68,61 kilogram CO2 per liter.
Ricky mengajukan solusi alternatif mengganti sawit sebagai bahan bakar nabati atau biodiesel dengan minyak jelantah. Minyak jelantah, kata dia, bisa menekan emisi sekitar 80-90% dibanding energi dari bahan lain. Dibandingkan biodiesel, emisi minyak jelantah sebanyak 0,314%. “Pemakaian minyak jelantah juga menekan deforestasi 939.000-1,48 juta hektare,” katanya. “Tetapi manfaat ekonominya bagi masyarakat tetap sama.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :