SETELAH dua tahun, setelah delapan kali sidang putusan ditunda, pada 16 September 2021 hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta atau Gerakan Ibu Kota. Hakim menganggap tujuh pejabat Indonesia—dari Presiden hingga Gubernur Jakarta—bertanggung jawab adalah pencemaran udara di Ibu Kota dan provinsi di sekitarnya.
Gugatan ini diajukan pada 5 Desember 2018. Sebanyak 32 orang aktivis lingkungan di Jakarta dan Bogor menggugat pemerintah akibat polusi udara yang menyebabkan penyakit. Para penggugat mengutip satu penelitian yang menyebutkan bahwa pada 2010, polusi menyebabkan 5,4 juta kasus yang berhubungan dengan pernapasan. Jumlah kasus penyakit naik menjadi 6,2 juta pada 2016.
Jumlah kasus penyakit itu mengakibatkan kerugian publik senilai Rp 38,5 triliun pada 2010 untuk biaya pengobatan. Nilai pengobatan ini naik pada 2016 menjadi Rp 61,2 triliun. “Ini putusan yang tepat,” kata Ayu Eza Tiara, pengacara penggugat. “Pembuktian di sidang sangat jelas bahwa pemerintah lalai mengendalikan pencemaran udara.”
Menurut Ayu Eza, hakim menolak adanya pelanggaran hak asasi yang turut disertakan oleh para penggugat. Juga skema gugatan citizen law suit karena belum diatur dalam hukum positif Indonesia. Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hanya mengatur gugatan class action.
Hakim beralasan beda antara citizen law suit dan class action adalah pada skema pertama, selain hanya dikenal dalam sistem hukum common law seperti di Amerika Serikat, citizen law suit diajukan secara perorangan tanpa perlu membuktikan kerugian. Sementara class action dilakukan secara berkelompok. Meskipun Mahkamah Agung pernah memutuskan gugatan citizien law suit dalam ujian nasional, jaminan sosial, hingga perlindungan hukum pekerja rumah tangga.
Berikut ini pertimbangan lengkap majelis hakim yang mengabulkan sebagian gugatan pengendalian pencemaran udara yang dipimpin Saifuddin Zuhri:
- Para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
- Menghukum Presiden RI memperketat baku mutu udara ambien nasional sebagai perlindungan kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Menghukum Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur Jakarta, Banten, dan Jawa Barat mengetatkan emisi lintas batas provinsi.
- Menghukum Menteri Dalam Negeri agar mengawasi dan membina tiga gubernur tersebut dalam mengendalikan pencemaran udara
- Menghukum Menteri Kesehatan untuk menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Jakarta sebagai dasar pertimbangan tiga gubernur menyusun strategi aksi pengendalian pencemaran udara
- Menghukum tiga gubernur untuk:
a. mengawasi ketaatan setiap ketentuan peraturan pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup
b. menjatuhkan sanksi kepada setiap orang yang melanggar peraturan pengendalian pencemaran udara
c. menyebarkan informasi pengawasan dan sanksi pengendalian pencemaran udara kepada masyarakat
d. mengetatkan baku mutu udara ambien (udara bebas di permukaan bumi) daerah untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem termasuk kesehatan populasi.
e. menginventarisasi baku mutu udara ambien, potensi pencemaran udara, kondisi meteorologis dan geografis serta tata guna lapangan dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar yang melibatkan partisipasi publik
f. menetapkan status mutu udara ambien setiap tahun dan mengumumkannya kepada masyarakat
7. menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar secara terfokus tepat sasaran dan melibatkan partisipasi publik.
Ayu Eza berharap para tergugat tak mengajukan perlawanan hukum berupa banding dan kasasi dan fokus menjalankan perintah hakim. Sebab, para aktivis Gerakan Ibu Kota siap mengawal pemerintah menuntaskan komitmen mengendalikan pencemaran udara.
Fokus lain gugatan ini adalah revisi aturan baku mutu udara yang tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 agar menyesuaikan dengan standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam PP 41/1999 baku mutu particulate matter 10 (PM10) dan PM2,5 jauh lebih rendah atau angkanya lebih besar dibanding standar WHO. Menurut PP itu, PM10 sebesar 150 μg/m3 untuk dan 65 μg/m3 untuk PM2.5 dalam 24 jam. Sementara WHO 50 dan 25 mikrogram per meter kubik. “Hal ini perlu disesuaikan agar hak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat dijamin” tambah ayu.
Dalam materi gugatan untuk pantauan pencemaran udara tahun 2010- 2018 lebih tinggi dibanding ambang batas PP 41 apalagi WHO. Pada 2017, misalnya, PM10 sebesar 49,72 μg/m3. Angka pencemaran udara di Bundaran Hotel Indonesia ini paling kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sementara PM2.5 di Jakarta Pusat sebesar 27,6 μg/m3, paling kecil dibanding tahun lain dan wilayah lain di Jakarta.
Khalisah Khalid, salah satu penggugat, mengatakan putusan ini menunjukkan pengadilan bisa menjadi jalan untuk masyarakat mendapatkan keadilan dan hak hidup sehat terhindar dari pencemaran udara, meskipun pelaksanaannya masih harus ditunggu dalam kebijakan. “Pemerintah jangan banding karena gugatan ini untuk kepentingan, kesehatan dan keselamatan seluruh warga negara, termasuk generasi mendatang agar mendapatkan kualitas hidup yang baik,” tutur Khalisah.
Pernyataan Khalisah dan para penggugat sesungguhnya sebuah ironi. Warga negara harus bekerja keras menuntut hak hidup sehat melalui pengadilan dengan proses yang lama. Padahal, menyediakan lingkungan yang sehat adalah kewajiban pemerintah, yang memungut pajak dari warga negara dan bersumpah di depan Tuhan mereka, untuk membuat kebijakan melindungi manusia dan alam semesta.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :