Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 September 2021

Pesisir Jawa Tenggelam Pelan-Pelan

Krisis iklim membuat pesisir Jawa tenggelam. Pantauan satelit penurunan muka air tanah.

Banjir di Kramat Jati Jakarta Timur pada 2021 (Foto: R. Eko Tjahjono/FD)

KRISIS iklim, yang ditandai dengan pemanasan global, membuat es di kutub utara dan selatan meleleh. Akibatnya, muka air laut naik. Akibatnya, pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.

Salah satu yang akan terdampak paling parah akibat kenaikan muka air laut adalah kawasan Asia Tenggara, khususnya pesisir pantai utara Jawa. Dampak ini diperparah dengan adanya pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah akibat eksploitasi seiring pertambahan penduduk. 

Edvin Aldrian, peneliti iklim dan meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menerangkan bagaimana tiga faktor itu saling mengisi membuat pesisir tenggelam. Ia mengamati proses kemunduran garis pantai di Asia Tenggara pada 1984-2015.

Salah satu dampak paling terlihat adalah banjir di daerah pantai. Bertambahnya total ekstrem air (extreme total water level, ETWL) dan erosi memperparah naiknya tinggi muka air laut. “”Perubahan iklim menyebabkan tingkat banjir lebih tinggi,” katanya dalam webinar ancaman pesisir Jawa tenggelam pada 16 September 2021 .

Pantauan citra satelit menunjukkan penurunan muka air tanah Pekalongan paling dalam dibanding kota-kota pesisir lain seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, atau Surabaya. “Konsumsi air tanah yang masif dan tidak terkendali membuat penurunan muka air tanah makin dalam,” kata Rokhis Khomarudin, Peneliti Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh BRIN.

Menurut Rokhis, dampak penurunan muka air tanah belum terlalu terasa saat ini. Namun, kata dia, risiko turunnya permukaan tanah jelas membawa kerugian besar secara sosial maupun ekonomi bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Ia minta pemerintah menaruh perhatian lebih dengan memonitor data penurunan muka air tanah ini.

Kota-kota pesisir Jawa akan tenggelam akibat krisis iklim dan eksploitasi air tanah

Pekalongan menjadi kota paling cepat penurunan muka tanahnya karena, selain eksploitasi air dan naiknya muka laut, juga karena kondisi geologi. Wilayah ini merupakan tanah lunak dengan pembangunan permukiman yang masif.

Daerah pesisir yang datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di utara Jawa, sejak zaman sebelum penjajahan. Ini membuat beban tanah karena bangunan dan penyedotan air tanah menjadi lebih intensif dibandingkan wilayah lain.

Eddy Hermawan, peneliti ahli utama BRIN, menyarankan, selain mitigasi krisis iklim yang lebih serius, cara mencegahnya dengan menanam mangrove di sekujur pantai lebih masif. Menurut Eddy, lima kota pesisir Jawa itu paling rawan tenggelam pada 2050. 

Irvan Pulungan, utusan khusus Gubernur DKI Jakarta untuk perubahan iklim, menambahkan ada tiga faktor tambahan mengapa Ibu Kota akan tenggelam: geografis yang 40% wilayah di bawah permukaan laut, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan beban pembangunan, serta penggunaan sumber air yang masif menyebabkan turunnya permukaan tanah.

Untuk itu pemerintah Jakarta telah mengeluarkan beberapa kebijakan strategis. Misalnya, menegaskan penanganan “Dampak Bencana Iklim” sebagai salah satu prioritas kerja Gubernur DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta juga mendorong kolaborasi pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi akademik untuk menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.

Dengan pelbagai masalah itu, guru besar IPB Hariadi Kartodihardjo menyarankan agar pembangunan menggenjot ekonomi harus seimbang dengan perlindungan lingkungan. Ketidakseimbangan itu memaksa pemerintah memiliki manajemen risiko bencana yang mumpuni karena ancaman krisis iklim begitu nyata. 

Salah satu tolok ukur adalah indikator kinerja pemerintah dalam mitigasi krisis iklim mencegah pesisir Jawa tenggelam yang terbuka diawasi oleh akademisi, LSM, media massa, dan masyarakat. “Kebijakan pemda akan lebih efektif jika mendapatkan pengawasan dari masyarakat,” kata Hariadi. “Juga melibatkan masyarakat karena gerakan sosial menangkal bencana selalu lebih efektif.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain