MAHASISWA kehutanan tahun 1970-1990-an biasanya hafal isi buku Vademecum Kehutanan Indonesia. Apalagi jika mau maju ujian menyelesaikan pendidikan sarjana. Buku kecil dengan sampul hijau itu terbit pada 1976 oleh Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. Isinya pengetahuan dan teori, dari perencanaan hingga pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Dalam kamus Merriam-Webster, “vade mecum” adalah kata Latin yang berarti “untuk pergi dengan saya”. Bahasa Inggris lalu menyerap kata yang muncul sejak 1629 itu sebagai “manual atau buku panduan ringkas yang bisa masuk kantong”. Kedua arti itu punya makna serupa, bahwa “buku” itu mudah dibawa, yang berarti menjadi ringkasan tetapi menyangkut seluruhnya.
Isi buku itu lebih pada hal-hal teknis kehutanan, yang hendak memenuhi kebutuhan praktis di lapangan. Karena itu isinya cara menebang pohon dengan benar, membentuk takik rebah dan takik balas, agar pohon yang ditebang bisa roboh ke arah tertentu yang diinginkan penebangnya.
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan memperbarui isi Vademecum Kehutanan Indonesia ini pada 2020. Karena itu masuk tambahan materi perencanaan berbasis tenurial (halaman 45), perhutanan sosial (halaman 463), serta perubahan iklim sektor kehutanan (halaman 519). Namun, edisi revisi ini belum memasukkan hukum pidana dan perdata dalam kehutanan, inti dari konsep pelaksanaan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, maupun institusi.
Dalam buku serupa, misalnya Tropical Forestry Handbook (2016), kata pengantarnya menyebutkan bahwa buku pegangan mesti menyediakan metodologi dan konsep yang sudah terbukti menyelesaikan masalah tertentu maupun pembelajaran dari pengalaman yang telah berjalan.
Buku pegangan hutan tropis itu melingkupi tiga bidang. Pertama, terkait ekonomi dan manajemen hutan seperti produk kehutanan kayu dan non-kayu, grading produk kehutanan, ekonomi kehutanan, pembayaran kompensasi, sertifikasi, dan manajemen proyek kehutanan. Kedua, tentang manajemen sumber daya manusia, seperti ergonomi, kelompok sasaran hutan dan masyarakat adat, serta penyuluhan kehutanan. Ketiga, topik tata kelola seperti kebijakan kehutanan, legislasi, hak kelompok sasaran, maupun penegakan hukum kehutanan.
Pada topik tata kelola ada pembahasan tentang hubungan deforestasi dengan akuisisi maupun penggunaan rezim hak milik. Kebijakan tersebut sering kali mendorong pemilik hutan melakukan deforestasi dan mengubah penggunaan lahan sebagai cara untuk menghindari pengambilalihan lahan. Demikian pula soal kebijakan dan peraturan tentang konsesi hutan negara berikut keadaan yang mengakibatkan suap dan korupsi oleh pejabat pemberi izin.
Buku itu juga membahas dampak kebijakan pembatasan perdagangan hasil hutan, yang di Indonesia masih menjadi perdebatan. Menurut buku ini, larangan ekspor seluruh kayu bulat umumnya gagal mencegah penebangan hutan yang berlebihan dan boros serta kurang membantu menciptakan industri pengolahan hutan yang sehat secara ekonomi. Sebab, dampak akhir pembatasan itu bergantung pada sejumlah faktor kompleks yang berbeda tiap negara.
Soal menarik adalah pembahasan “Forest Crime in the Tropics” (halaman 3.525). Di banyak negara tropis ternyata ketidakpatuhan terhadap aturan kehutanan dan tata kelola yang buruk menjadi pendorong utama kerusakan hutan. Penyebabnya ketidaktahuan terhadap aturan konservasi dan pengelolaan hutan, aturan tentang pemanenan hasil hutan, dan mitigasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketidakpastian penggunaan dan perubahan penggunaan lahan atau hutan, penguasaan hutan, kerangka kerja kebijakan, dan hukum kehutanan umumnya terjadi akibat aturan yang tak sesuai dengan keadaan lapangan. Undang-undang Kehutanan mungkin tidak adil dan tidak diterima secara sosial karena mengabaikan bahkan menghukum kearifan lokal yang terbukti lebih bisa melestarikan hutan.
Lemahnya penegakan hukum dan peraturan kehutanan di banyak negara tropis mendorong korupsi akibat kurangnya transparansi dan penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun beda tiap negara, bentuk korupsi cenderung sama, yakni konflik kepentingan, penggelapan, penipuan, suap, korupsi politik, nepotisme, dan pemerasan.
Faktor-faktor pemicu korupsi sektor kehutanan di negara-negara tropis juga cenderung mirip. Antara lain kebijakan yang keliru, lembaga negara yang gagal bekerja, mekanisme kontrol dan prosedur verifikasi yang tidak memadai, kurangnya kelompok masyarakat sipil yang kuat dan terorganisasi, sistem peradilan pidana yang lemah serta korup, remunerasi pegawai negeri sipil yang tidak memadai, serta kurangnya akuntabilitas dan transparansi.
Kesamaan lain minimnya informasi tentang sumber daya hutan sebagai dasar pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah. Hingga saat ini, inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan belum memadai, ketinggalan zaman, atau bahkan tidak ada sama sekali. Pengelola hutan tidak memiliki informasi dasar keadaan sumber daya yang seharusnya mereka pantau dan lindungi.
Luasnya hutan tropis dan minim akses membuat pemantauan dan kontrol terhadap sumber daya alam menjadi sulit. Akibatnya, pemerintah sering membuat keputusan atau kebijakan memakai informasi yang kurang.
Buku semacam vademecum atau buku pegangan bidang lain, bisa menjadi cermin pikiran suatu profesi pada suatu masa. Buku Vademecum Kehutanan Indonesia bisa jadi adalah cakrawala pikiran rimbawan yang menjadi penanda luas-sempitnya pemahaman rimbawan terhadap kompleksitas sektor kehutanan. Buku seperti itu mungkin tergolong tertinggal, apalagi jika dibandingkan dengan buku lain yang lebih canggih. Karena itu buku-buku sederhana seperti ini cukup kita bandingkan dengan fakta lapangannya saja.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :