PROPOSAL penurunan emisi dari negara-negara peserta Konferensi Iklim Paris 2015 dipastikan gagal mencegah puncak krisis iklim pertama pada 2030, yakni mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850. Analisis NDC atau nationally determined contributions global oleh Climate Action Tracker menunjukkanpenurunan emisi global dalam NDC atau nationally determined contributions sangat jauh dari target Kesepakatan Paris.
Laporan panel antarpemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) di PBB sudah menyebutkan bahwa puncak krisis iklim akan datang 20 tahun lebih cepat, yakni 2030-2040. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut laporan itu sebagai “kode merah kemanusiaan”.
Climate Action Tracker menganalisis pelbagai dokumen NDC dari 127 negara dan kawasan yang menjadi anggota PBB dan peserta Konferensi Iklim 2015. Masih ada 70 negara yang belum memperbarui target NDC mereka hingga 2030. Dalam Kesepakatan Paris itu semua negara berjanji memasang target menurunkan emisi hingga 45% dibanding produksi emisi 2015.
Dalam analisis Climate Tracker, dunia dipastikan gagal mencapai target itu. Dari 37 negara yang sudah mengajukan NDC dan dianalisis pada September 2021, hanya Republik Gambia yang program-program penurunan emisinya hingga 2030 sesuai dengan Kesepakatan Paris.
Iran, Rusia, Singapura, Saudi Arabia, dan Thailand masuk kategori paling buruk, yakni “amat sangat tidak cukup”. Indonesia, bersama 14 negara maju berada dalam kelompok kedua, yakni kelompok negara yang kebijakannya “sangat tidak cukup” dalam menurunkan emisi.
“Mereka mengajukan target menurunkan emisi 2030 yang sama atau bahkan kurang ambisius daripada yang mereka ajukan pada tahun 2015. Negara-negara ini perlu memikirkan kembali pilihan mereka,” tulis Climate Tracker.
Indonesia memasukkan proposal NDC PBB pada 21 Juli 2021. Targetnya tak berubah dibanding 2015, yakni menurunkan emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan negara atau lembaga internasional dari prediksi emisi 2030 sebanyak 2,87 miliar ton setara CO2.
Jika digabungkan, menurut Climate Action, penurunan emisi seluruh negara hanya berkurang 2,6-3,9 miliar ton dibanding produksi emisi 2015. Padahal, Kesepakatan Paris mengamanatkan produksi emisi 2030 hanya 24-28 miliar ton setara CO2 jika kita tak ingin memasuki masa tergelap bumi akibat pemanasan global.
Produksi emisi gas rumah kaca sejak 2015 naik hingga berjumlah 51 miliar ton. Dengan melihat kebijakan-kebijakan setelah lima tahun pertama Kesepakatan Paris, produksi emisi bertambah hingga 55 miliar ton. Akibatnya, suhu bumi naik 1,10 Celsius dan bumi mencapai rekor suhu baru dibanding masa praindustri. Kenaikan suhu dipicu oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang tembus 414,3 part per million.
Konsentrasi gas rumah kaca itu naik hampir dua kali lipat dibanding satu abad lalu. Dalam 10.000 tahun sebelumnya, konsentrasi gas rumah kaca stabil di angka 280 ppm.
Revolusi Industri membuat produksi emisi naik gila-gilaan akibat pengerukan bahan bakar fosil untuk menggerakkan ekonomi. Eksploitasi itu membuat hutan yang menjadi penyerap alamiah emisi menjadi berkurang sehingga pelbagai gas itu menguap ke udara dan menumpulkan kemampuan atmosfer menyerap emisi dan panas matahari.
Apa yang terjadi jika suhu bumi naik 1,50 Celsius? World Resources Institute menyarikan 11 dampak pemanasan global akibat krisis iklim:
- 14% penduduk mengalami panas yang parah setidaknya sekali dalam lima tahun.
- Musim panas tanpa es di kutub utara terjadi sekitar 1 kali dalam 100 tahun.
- Muka air laut naik 40 sentimeter pada 2100 yang membuat pulau kecil dan daerah pesisir tenggelam.
- 4% spesies vertebrata punah.
- 8% spesies tumbuhan lenyap.
- 18% serangga menghilang.
- 7% daratan berubah yang mempengaruhi ekosistem.
- 4,8 juta kilometer persegi tanah beku (permafrost) akan mencair.
- 3% panen komoditas di daerah tropis berkurang.
- 70-90% terumbu karang lenyap.
- 1,5 juta ton hasil perikanan hilang.
Jika prediksi dan analisis NDC global ini tak cukup menggetarkan dan menakutkan, kita mesti bersiap memasuki puncak krisis iklim. Seperti program pemerintah Indonesia dalam NDC, tak hanya mengurangi emisi karbon dalam mitigasi, juga adaptasi terhadap krisis iklim. Artinya, penduduk bumi diminta terbiasa dengan berbagai dampak krisis iklim akibat negara gagal menurunkan target mereka sendiri mencegah suhu bumi yang naik pelan-pelan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :