MORATORIUM sawit berakhir pada 19 September 2021, setelah tiga tahun. Pemerintah belum mengumumkan apakah penghentian izin baru pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit akan diperpanjang atau disetop.
Sebelum mendebatkan soal perpanjangan atau penghentian moratorium sawit, kita perlu menengok bagaimana carut-marutnya kelapa sawit di kawasan hutan. Kita mulai dengan datanya.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 -3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare.
Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Dari 3,1 juta hektare, jika kita pakai data KLHK, 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan agar ilegal. Ada dugaan karena sawit ini sebagai perkebunan sawit rakyat perorangan.
Kita sama tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di KLHK. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Tapi izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.
Pemerintah pernah menertibkan pertambangan dan perkebunan ilegal sejak 2010. Penertiban ini mencuatkan kegaduhan, terutama dari kepala daerah. Mereka melayangkan surat kepada Presiden bahwa investasi perkebunan dan pertambahan itu bernilai triliunan rupiah.
Lima bupati dan seorang pengusaha kebun sawit di Kalimantan Tengah bahkan memohon uji materi Undang-Undang Kehutanan kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah mengabulkan tuntutan itu dan memerintahkan KLHK tidak sembarangan dalam menetapkan kawasan hutan. Padahal, perizinannya begitu kacau balau.
Ada perusahaan yang memiliki izin perkebunan dari pemerintah daerah itu juga mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal tak ada pelepasan kawasan hutan untuk arealnya.
Di kebun sawit rakyat, masalahnya lebih rumit dan kompleks lagi. Selain perambahan, jumlahnya banyak dan luasnya kecil-kecil, 5-25 hektare. Karena ilegal, baik sawit rakyat dan sawit perusahaan tentu tak membayar pajak.
Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan ini melalui regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 yang diperbarui PP no. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Rumitnya prosedur mendapat izin membuat penyelesaian itu ditanggapi dingin pengusaha. Salah satu kerumitan adalah kewajiban menyediakan lahan pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan, jika izin perkebunannya berada di kawasan hutan produksi.
Mencari lahan pengganti tidak mudah. Apalagi mendapatkan lahan yang luasnya setara dan clean and clear secara hukum. Kalaupun ada, prosedur penataan batas yang dilewati juga tidak mudah.
Melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan, pemerintah coba mengurai kebun sawit ilegal dengan prinsip keadilan.
PP itu mensyaratkan pemutihan sawit di kawasan hutan pertama-tama adalah inventarisasi: sesuai tata ruang, tidak tumpang tindih. Sawit yang tidak sesuai tata ruang lalu dipilah dengan yang punya izin tak ada izin. Sawit yang tak memiliki izin akan terkena sanksi administratif berupa denda.
Meski terlihat solutif, ada kelemahan dalam regulasi ini:
Pertama, sampai kapan inventarisasi sawit ilegal? Validasi data program tanah objek reforma agraria (TORA) memakan waktu cukup lama. Dari jalur Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan agaknya lebih mudah karena ujungnya pemutihan. Kategori ini menyangkut lahan transmigrasi, permukiman, kebun lahan kering, fasilitas umum dan sosial, sawah, tambak rakyat.
Kawasan yang perlu dicermati adalah dari jalur non inventarisasi yang meliputi alokasi TORA dari 20 persen perkebunan, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tak produktif dan program pemerintah untuk sawah baru. Sebaiknya KLHK bekerja sama dengan pemerintah daerah yang bersangkutan dalam inventarisasi ini, termasuk kepentingan di dalamnya.
Kedua, pasal 110B PP 24/2021 mengatur sawit ilegal perorangan. Sanksinya denda. Jika mengacu pada perhitungan di pasal penjelasan dengan tarif denda 20% dari pendapatan negara akan memperoleh pendapatan dari pemutihan sawit ilegal Rp 75 triliun.
Dari 3,1 juta hektare jika diasumsikan potensi kayu yang telah ditebang rata-rata 30 meter kubik per hektare, kayu yang telah tertebang berasal dari lahan 676.963 hektare. Sebesar itu pula deforestasinya. Volume kayunya mencapai 17.308.980 meter kubik.
Maka pajak kayu berupa provisi sumber daya hutan (PSDH), jika mengacu Peraturan Menteri P.64/2017 tentang harga kayu bulat rimba campuran sebesar Rp 600.000 per meter kubik, pajaknya hampir Rp 10,4 triliun. Jika tarif dana reboisasi US$ 12 per meter kubik menghasilkan pajak Rp 2,2 triliun.
Bersediakah para pemilik kebun sawit rakyat membayar denda sebesar itu? Apalagi penggarap kebun sawit di hutan lindung dan hutan konservasi yang harus menyerahkan areal usaha kepada negara.
Dengan kerumitan-kerumitan sawit di kawasan hutan ini saja, moratorium sawit memang sebaiknya diperpanjang untuk memberi jeda tata kelola dan pendataannya, agar kerumitan tidak bertambah kusut.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :