Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 September 2021

Reforma Agraria Sampai di Mana

Reforma agraria, terutama redistribusi lahan, terhambat perubahan-perubahan aturan dalam empat tahun terakhir. Dua hal menyelesaikannya.

Konversi lahan untuk perumahan untuk melayani jumlah penduduk yang meningkat (Foto: Dok. FD)

PRESIDEN Joko Widodo mengumumkan penyerahan sertifikat 124.120 sertifikat tanah hasil redistribusi di 26 provinsi dan 127 kabupaten dan kota di Istana Bogor pada 22 September 2021. Menurut Jokowi, tanah-tanah dalam skema reforma agraria itu berasal dari tanah negara yang konfliknya sudah selesai, tanah telantar, dan dari skema pelepasan kawasan hutan. 

Pemerintahan Jokowi menetapkan reforma agraria sebagai program prioritas pada tahun 2018, melalui dua skema: sertifikasi tanah dan redistribusi lahan. Dalam sertifikasi tanah luasnya hingga Agustus 2021 mencapai 4,85 juta hektare melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Angka ini 24% lebih tinggi dari target awal yang hanya 3,9 juta hektare.

Konstruksi Kayu

Mulus di sertifikasi, tersendat dalam redistribusi. Dari total 4,1 juta hektare lahan yang disediakan pemerintah, baru 5% yang terealisasi. Redistribusi lahan lebih pelik lagi jika berada di kawasan hutan. 

Studi Sajogyo Institute, lembaga kajian agraria, mengonfirmasi data itu. Dari penelitian di tiga lokasi di Jawa dan Sulawesi, redistribusi lahan tersendat karena masyarakat dan pemerintah menemui hambatan dalam aturan. 

Menurut Ganies Oktaviana, peneliti Sajogyo Insitute, menerangkan penelitiannya berada di Desa Balumpewa Kecamatan Dolo Barat dan Desa Bunga di Sigi, Sulawesi Tengah; serta Desa Bumirejo di Malang, Jawa Timur. “Tiga lokasi ini merepresentasikan jenis praktik program reforma agraria,” kata Ganies dalam webinar “Tanah untuk Siapa: Evaluasi Keberhasilan Reforma Agraria” pada 17 September 2021.

Kabupaten Sigi, kata Ganies, salah satu daerah yang paling progresif dalam menjalankan reforma agraria, bahkan sebelum program ini dijalankan pemerintah pusat. Mereka memasukkan reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang memakai dana partisipatif desa. “Sayangnya, saat proses administrasi ke pusat untuk disahkan, hasilnya mandek,” tambah Ganies.

Di Desa Bumirejo, reforma agraria terhambat karena konflik masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara XII. Sampai saat ini, masyarakat di sana masih menuntut hak tanah mereka yang, menurut penduduk, diambil alih pemerintahan kolonial Belanda untuk jadi perkebunan.

Dari studi di tiga lokasi itu, Ganies merunut problem program reforma agraria:

Dari luas 417,11 hektare lahan di Desa Bunga yang diusulkan dalam reforma agraria, area penggunaan lain seluas 77,19 hektare; hutan produksi terbatas 139,56 hektare; dan kawasan suaka alam 200,37 hektare. KLHK menyetujui sekitar 66 hektare menjadi TORA. Sisanya menggantung.

Di Desa Balumpewa, dari total usulan TORA 465,01 hektare (terdiri dari APL seluas 2,35 hektare; KSA 326,29 hektare; hutan lindung seluas 136,37 hektare), KLHK menyetujui hanya 62,3 hektare.

Penduduk Desa Bumirejo hanya mendapat 1,4% dari luas lahan yang pernah diukur seluas 1.372,80 hektare.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra mengakui banyak kendala dalam redistribusi lahan. Hambatan redistribusi lahan, menurut Surya, adalah sinkronisasi data dan kebijakan antarlembaga. “Apa yang kami kerjakan dengan apa yang KLHK bersedia berikan belum tersinkronisasi,” ujarnya.

Meski begitu, Surya menunjukkan data bahwa skema TORA untuk Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) seluas 2,7 juta hektare, seluas 1,5 juta hektare sudah menjadi APL yang disetujui oleh KLHK. “Artinya sudah bisa didistribusikan,” kata dia.

Deputi Kantor Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan menambahkan hambatan lain pelaksanaan program reforma agraria. Menurut dia, perubahan kebijakan dalam empat tahun terakhir membuat reforma agraria tersendat.

Abetnego menyebut perubahan Peraturan Presiden tentang Penyelesaian PTKH (PPTKH), disusul dengan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria, yang disusul UU Cipta Kerja. Akibatnya PPTKH diserap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021. Menurut Abetnego, perubahan-perubahan kebijakan ini menyebabkan mekanisme pelaksanaan reforma agraria juga berubah. “Akibatnya penyelesaian kasus-kasus lama dimulai dari awal lagi,” kata dia.

UU Cipta Kerja agaknya yang paling besar dampaknya dalam reforma agraria. Menurut guru besar hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sumardjono, bagian pengawasan dan penertiban kawasan serta tanah telantar dalam UU Cipta Kerja membuat proses redistribusi lahan menjadi panjang, seperti kembali ke awal Reformasi 1998.

Maria mencontohkan Peraturan Pemerintah Nomor 18/2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun, dan pendaftaran tanah yang menjadi turunan UU Cipta Kerja. Dalam aturan itu ada kelonggaran hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah dengan memberi napas selama dua tahun untuk pembaruan hak. “Artinya penetapan tanah negara eks hak atas tanah itu masih harus menunggu dua tahun,” jelasnya.

Menurut Maria untuk menyelesaikan segala problem itu perlu dua hal: pengawalan oleh LSM dalam penanganan kasus agraria sebelum UU Cipta Kerja terbit sehingga bisa menyesuaikan dengan aturan baru agar tak memulai penyelesaian administrasinya dari nol. Kedua, Kantor Staf Presiden membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) antara lembaga pemerintah sebagai acuan baru program reforma agraria.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain