PEMUTUSAN kerja sama mencegah deforestasi dan degradasi lahan antara pemerintah Indonesia dan Norwegia mencuatkan kembali isu perdagangan karbon dan perdagangan emisi. Apa beda keduanya?
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya angkat bicara soal perdagangan karbon. Menurut dia, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual-beli unit karbon. “Unit karbon merupakan kepemilikan karbon yang sah,” kata Siti dalam Economic Challenges di Metro TV pada 21 September 2021.
Perdagangan karbon lebih mengacu kepada pembelian jasa pemulihan dan perlindungan hutan oleh para produsen emisi. Disebut juga carbon off set. Norwegia salah satu contoh tentang ini. Meski skemanya secara resmi bukan mengacu pada perdagangan karbon, namun pemerintah Norwegia membeli usaha penghindaran emisi melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Untuk tiap karbon yang bisa ditahan tak terlepas ke atmosfer, Norwegia membayar US$ 5 per ton. Dari perhitungan yang diverifikasi pihak ketiga, penurunan deforestasi membuat hutan Indonesia bisa menghindarkan atau menyerap karbon sebanyak 11,2 juta ton setara CO2 pada 2016-2017 Begitu juga dengan Green Climate Fund atau proyek-proyek pemulihan hutan Bank Dunia.
Deforestasi atau penggundulan hutan dan degradasi lahan membuat karbon terlepas ke atmosfer menjadi gas rumah kaca. Gas inilah yang memicu pemanasan global dan krisis iklim. Melalui perhitungan yang rumit, pelepasan itu bisa dihitung berdasarkan luas lahan dengan faktor emisinya.
Sementara perdagangan emisi adalah transaksi antar produsen emisi. Disebut juga carbon cap and trade. Di sini ada standar yang dibuat sebuah negara jumlah emisi yang bisa diproduksi oleh sebuah sektor. Misalnya, batas emisi pabrik semen sebesar X juta ton setahun. Jika pabrik ini memproduk emisi pada waktu tertentu lebih dari X, maka mereka harus membeli kelebihan emisi tersebut dengan membeli hak mengemisi kepada pabrik yang memproduksi emisi kurang dari X.
Satuannya tetap ton setara CO2. Kesepakatannya terjadi antara penjual dan pembeli. Karbon dioksida menjadi acuan satuan menghitung emisi karena ia bisa ditimbang dan jumlahnya paling banyak di atmosfer dibanding gas-gas rumah kaca lain di atmosfer.
Menurut Siti Nurbaya, Indonesia belum memiliki acuan untuk dua jenis perdagangan tersebut. “Dengan situasi di internasional, Indonesia harus mengambil referensi yang positif,” kata dia. “Ketika negara penghasil emisi bilang ada kebutuhan mengatasi emisi dan mau melirik Indonesia, kami menyiapkan regulasi dan menjelaskan perdagangan karbon yang kita miliki.”
Regulasi yang disebut siti adalah Rancangan Peraturan Presiden Nilai Ekonomi Karbon. Sudah dua tahun, regulasi ini tak kunjung disahkan. Menurut Maman Abdurrahman, Wakil Ketua Komisi Energi DPR dari Partai Golkar, rancangan peraturan presiden tersebut tak kunjung disahkan karena terhambat pajak karbon.
Pemerintah sudah mengajukan Rancangan UU Ketentuan Umum Perpajakan yang di dalamnya memasukkan tambahan pajak karbon. Meski belum ada aturannya, beberapa perusahaan restorasi ekosistem sudah mempraktikkan perdagangan karbon dengan pembeli dari luar negeri. Atau masyarakat hutan lindung Bujang Raba di Jambi, menjualnya di bursa karbon di Eropa.
Skema tersebut masuk dalam pasar sukarela. Adapun yang menjadi percakapan Menteri Siti Nurbaya adalah pasar wajib. Kelak, ketika sudah ada aturannya, tiap sektor dan industri memiliki kewajiban menjual dan membeli emisi sebagai salah satu cara mitigasi krisis iklim. Indonesia sudah memiliki Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang bisa menjadi etalase pasar karbon wajib Indonesia dengan penerbit sertifikatnya ada di tangan Menteri Lingkungan Hidup.
Peter Gontha, pengusaha dan mantan Duta Besar Polandia yang belakangan terjun ke bisnis karbon, mengatakan bahwa potensi pasar karbon Indonesia sangat besar. Sebagai negara tropis, meski tak menyebut sumbernya, menurut Peter, ekosistem hutan Indonesia menyerap 90% emisi global sebanyak 52-56 miliar ton setara CO2 per tahun.
Masalahnya, selain punya ekosistem yang kaya keragaman hayati sebagai penyerap emisi, kebijakan Indonesia juga masih memakai energi fosil. Pembangkit kontrak pembangkit batu bara baru akan dihentikan pada 2030, sehingga baru 2055 Indonesia baru bersih dari batu bara. Batu bara, selain mendapatkannya dengan menggali bumi dan membabat hutan, pembakarannya berupa emisi pekat.
Dengan keadaan ini, Indonesia dipastikan tak bisa mencapai target nol-bersih emisi atau net zero emission pada 2050 seperti Kesepakatan Iklim Paris 2015. Dalam proposal NDC atau nationally determined contributions, Indonesia menuliskan net zero emission tercapai pada 2060. Net zero emission adalah keadaan ketika jumlah emisi yang diproduksi dan diserap sama besarnya.
Menurut Siti Nurbaya, transisi dari energi kotor ke bersih perlu dihitung dengan kombinasi kerja antar lembaga, regulasi, edukasi, pemahaman publik, dan ramuan teknologi menjadi penting agar masa transisi menjadi jelas. “Presiden Jokowi sudah mengarahkan bahwa Indonesia harus masuk ke dalam ekonomi hijau, persiapannya adalah membangun kawasan industri yang hijau,” kata Siti.
Maman menilai Indonesia belum siap memasuki perdagangan karbon saat ini karena koordinasi antara lembaga belum sinkron. “Dunia tidak bisa diselamatkan oleh Indonesia saja,” Peter Gontha menambahkan. “Yang pasti, dunia tidak bisa diselamatkan tanpa Indonesia.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :