Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 September 2021

Jangka Benah Solusi Sawit di Kawasan Hutan

Kebun sawit di kawasan hutan akan diselesaikan memakai konsep jangka benah setelah denda. Apa itu jangka benah?

Perkebunan sawit di kawasan hutan menjadi problem pelik pengelolaan hutan di Indonesia (Foto Ilustrasi: Diah Suradiredja)

KITA mulai sering mendengar istilah jangka benah. Dalam aturan istilah ini ada di Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 pasal 27 ayat 4 bagian a sebagai solusi menyelesaikan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan produksi. Juga pasal 28 ayat 3 bagian 1 sebagai kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan.

Dalam penjelasannya dari pasal 28 itu ada definisi apa itu jangka benah, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem sesuai tujuan pengelolaan. Apa sebenarnya konsep jangka benah itu. 

Konstruksi Kayu

PP 24/2021 mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Kebun sawit di kawasan hutan tentu ilegal. Melalui PP yang menjadi aturan UU Cipta Kerja ini pemerintah hendak mengampuninya lalu implementasi jangka benah untuk menghutankan kembali.

Konsep jangka benah berasal dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Konsep jangka benah adalah periode pengaturan tegakan hutan untuk mengembalikan hutan ke keadaan normal. Dalam jangka benah ada tiga aspek: pengelolaan, kelembagaan, dan kebijakan.

Pada aspek pengelolaan berupa penyelesaian tata batas kawasan hutan guna menjamin kelestariannya, termasuk dukungan data spasial, untuk menyelaraskan dengan tata ruang wilayah. Setelah itu revitalisasi kebun sawit dengan agroforestri sawit guna peningkatan produktivitas lahan dan menjaga biodiversitas.

Berikutnya, kelembagaan untuk mendorong Indonesia Sustainable Palm Oil System (ISPO). Banyak petani sawit kini belum mampu memenuhi standar itu, juga pengusaha. Sebagian besar petani tersangkut legalitas lahan. Memasukkan mereka ke dalam perhutanan sosial akan menyelesaikan soal ini.

Juga skema public-private patnership antara perusahaan sawit dengan pemerintah dan masyarakat. Skema kolaborasi multipihak ini terutama untuk mendukung kegiatan konservasi dan sosial, tak sekadar dana-dana tanggung jawab lingkungan.

Aspek kebijakan menyangkut tata ruang yang efektif, terutama penentuan lokasi dan alokasi izin, persyaratan, dan kewenangan pemberi izin. Hal ini perlu data spasial konsisten, skala akurasi tinggi, dan kerja sama antar sektor dan lembaga. Saat ini, luas kebun sawit di luar maupun kawasan hutan masih banyak versi.

Tata ruang juga mengandung konsekuensi penegakan hukum terhadap pelanggaran lokasi dan alokasi perizinan terkait hutan dan lahan. Untuk itu, perlu revisi berbagai kebijakan kehutanan terutama yang masih tumpang tindih satu sama lain.

UU 41/1999 tentang kehutanan masih pakai perspektif hutan sebagai unit spasial terbagi berdasarkan fungsi produksi, lindung, dan konservasi. Padahal hutan harus dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem utuh hingga dalam pengelolaan tak bisa terpisahkan berdasarkan fungsi dalam satu unit spasial. 

Menerapkan jangka benah melalui dua tahap:

a) tahap pertama bertujuan untuk mengubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Agroforestri menjadi skema jangka benah tahap pertama karena 1) membuka ruang-ruang negosiasi bagi masyarakat dan pengelola kawasan hutan; 2) berpotensi meningkatkan ketahanan rumah tangga petani dengan peluang diversifikasi pendapatan rumah tangga petani dari hasil hutan bukan; 3) menguatkan posisi petani melalui legalisasi hak akses dalam skema-skema perhutanan sosial, serta; 4) menambah spesies tanaman berkayu pada kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan untuk menurunkan fragmentasi hutan dan meningkatkan fungsi ekosistem hutan secara keseluruhan

b) tahap kedua bertujuan meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami.

Konsep jangka benah dalam PP 24/2021 hanya pada kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak dapat mengajukan izin pelepasan kawasan hutan. 

Alur jangka benah sebagai berikut:

a) setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku;

b) hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan memuat data dan informasi mengenai: 1) setiap orang yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan; 2) luasan kawasan hutan yang dikuasai; 3) jangka waktu kegiatan usaha yang dilakukan di dalam kawasan hutan dan ; 4) lokasi.

c) berdasarkan verifikasi administratif dan teknis, Menteri Kehutanan menerbitkan surat perintah pelunasan tagihan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).

d) Menteri menerbitkan persetujuan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi, dan hutan produksi setelah tagihan PSDH dan DR dilunasi;

e) Dalam hal kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit tumpang-tindih dengan konsesi di kawasan hutan produksi, melalui kerja sama pengelolaan antara pemohon dengan pemegang perizinan di bidang kehutanan. Jangka waktu kerja sama selama satu daur atau paling lama 25 tahun sejak masa tanam. 

Kerja sama memuat kewajiban kepada setiap orang untuk: 1) melakukan kegiatan jangka benah dengan tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur di sela-sela tanaman sawit; 2) tidak melakukan penanaman sawit baru; 3) setelah habis 25 tahun sejak masa tanam, wajib mengembalikan areal usaha di dalam kawasan hutan kepada negara;

f) Persetujuan usaha di dalam kawasan hutan lindung dan atau hutan konservasi melalui mekanisme kerja sama atau kemitraan dengan pemerintah. Persetujuan melanjutkan kegiatan usaha, berlaku 15 tahun sejak masa tanam dengan kewajiban sama seperti poin e.. 

Semoga para pengusaha dan penguasa kebun kelapa sawit di kawasan hutan bersedia membayar PSDH dan DR. Potensinya lumayan: DR sebesar Rp 75 triliun dan PSDH Rp 2,2 triliun. Setelah itu mereka melakukan jangka benah agar hutan yang jadi kebun sawit itu kembali ke ekosistemnya semula.

Ikuti percakapan jangka benah di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain