DI akhir masa kepemimpinan periode pertama pada Mei 2019, Presiden Joko Widodo meluncurkan jargon baru “visi Indonesia 2045”. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merancang Visi Indonesia 2045 ini selama dua tahun dengan berpijak pada empat pilar: pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Visi Indonesia 2045 membutuhkan kontribusi seluruh sektor untuk meningkatkan ekonomi menuju Indonesia maju. Dalam Nawacita atau sembilan strategi pembangunan, Presiden Joko Widodo menerangkan ada tiga agenda prioritas dalam pengelolaan hutan.
Tiga agenda pengelolaan hutan tersebut yaitu menegakkan hukum dan tata kelola kehutanan, meningkatkan produktivitas nasional yang mampu bersaing di pasar internasional, dan penguatan ekonomi lokal. “Tiga agenda besar ini merupakan respons atas tantangan pengelolaan hutan saat ini yakni kebakaran hutan, deforestasi, konflik tenurial, penebangan liar, dan persoalan pengelolaan gambut,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat memberikan sambutan seminar nasional Hari Pulang Kampus Alumni Fakultas Kehutanan IPB ke-XVIII, 25 September 2021.
Menurut Siti Nurbaya, era keemasan kayu telah berlalu. Puncak bonanza kayu Indonesia berlangsung pada tahun 1980-an. Untuk saat ini, kata Siti, kehutanan tidak berharap pada industri kayu untuk berkontribusi memenuhi visi Indonesia 2045.
Fokus pembangunan kehutanan Indonesia, kata Siti, adalah memanfaatkan hasil hutan bukan kayu yang melimpah dan diminati pasar internasional. “Nilai manfaat dan ekonomi hasil hutan bukan kayu mencapai 95%, sedangkan kayu hanya 5%,” ujar Siti. Masalahnya, nilai pemerintah belum bisa menilai dan menghitung potensi hasil hutan bukan kayu hutan Indonesia.
Menyelesaikan konflik tenurial juga menjadi target visi Indonesia 2045. Siti mengatakan pada 1980-an, dari 43 juta hektare kawasan hutan yang dibuka untuk investasi, sebanyak 98%. Masyarakat hanya 2%.
Kini, kata Siti, proporsi tersebut pelan-pelan menuju keseimbangan. Menurut Siti Nurbaya, areal konsesi yang dikelola masyarakat perorangan kini naik menjadi 29-31% dengan distribusi akses ke kawasan hutan melalui program perhutanan sosial yang gencar sejak 2014. Program ini menyediakan 12,7 juta kawasan hutan konsesi dari 43 juta hektare yang telah dibuka untuk investasi.
Siti Nurbaya juga senang menyebut jargon lain dalam mengelola sektor kehutanan, yakni aksi korektif atau corrective action. Maksudnya menata ulang kebijakan mengelola hutan Indonesia dengan lima cara:
- Menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan,
- Mencegah kebakaran hutan dan lahan serta mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan, kesehatan, transportasi, dan pertumbuhan ekonomi,
- Menerapkan prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan,
- Menyelaraskan kebijakan pengelolaan hutan sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan
- Menyukseskan kerja sama global menangani perubahan iklim melalui komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca melalui upaya sendiri maupun dengan bantuan internasional.
Aksi korektif mencapai lima tujuan itu, kata Siti, melalui:
- Pembangunan rendah karbon dan ketahanan terhadap perubahan iklim melalui restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan lahan serta pengurangan laju deforestasi,
- Mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat,
- Menginternalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan ke dalam penyusunan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030,
- Mencegah kehilangan keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem melalui konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati yang terancam punah, dan
- Mencegah, menanggulangi, memulihkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Puncak pencapaian aksi korektif maupun peta jalan mencapai Visi Indonesia 2045 di era Jokowi adalah omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Beleid ini hendak memacu investasi dengan melonggarkan proteksi terhadap lingkungan dan hak asasi manusia.
Menurut Siti Nurbaya, penyelenggaraan kehutanan dan regulasi turunannya memungkinkan para pelaku usaha kehutanan mengembangkan multiusaha. Diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, kata dia, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan hutan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
Model multiusaha kehutanan berupa pemanfaatan jasa lingkungan yang menjadi bagian dari mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan berbasis lahan. Kontribusi pemegang konsesi hutan dalam mitigasi perubahan iklim, antara lain, mengurangi emisi melalui penyerapan karbon dan konservasi cadangan karbon.
Dengan semua target itu, sektor kehutanan akan menyumbang pertumbuhan ekonomi dalam Visi Indonesia 2045 atau seabad Indonesia. Pada tahun itu, Bappenas memproyeksikan jumlah penduduk mencapai 318,9 juta jiwa dengan 72,8% tinggal di perkotaan, dan 86% adalah penduduk usia produktif. Produk Domestik Bruto per kapita Indonesia pada 2045 diproyeksikan sebesar US$ 23.199.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :