DI tengah krisis iklim, ancaman terbesar dari sektor kehutanan adalah deforestasi dan degradasi. Dua kerusakan atau peralihan lahan hutan ini membuat emisi yang tertahan dalam ekosistem akan menguap ke atmosfer menjadi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Untuk mencegahnya perlu menaikkan nilai hutan agar memberikan manfaat paling besar.
Masalahnya, nilai hutan yang memberikan manfaat selalu dilihat sebagai angka-angka ekonomi. Hutan yang menyediakan jasa lingkungan berupa oksigen, penyerapan air, menjaga keseimbangan bumi, acap terabaikan dalam pembangunan yang mengutamakan dan mengejar pertumbuhan untuk kesejahteraan, juga keserakahan.
Hutan pun menjadi andalan dalam pembangunan yang membutuhkan lahan untuk mengimbangi kebutuhan manusia yang terus bertambah. Para ahli sudah merumuskan mempertemukan dua sisi mata uang yang jadi lingkaran setan ini melalui pembangunan rendah karbon, yakni pembangunan hijau berbasis masyarakat. Bagaimana bentuknya?
Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, mendekatinya dengan nilai hutan. Menurut dia, jika semata kayu, nilai hutan amat kecil, yakni hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai hutan akan naik jika dikonversi menjadi sawah menjadi Rp 1.500, menjadi perkebunan sawit Rp 3.800, dan menjadi perumahan Rp 40.000.
Dengan nilai paling kecil itu, kata Dodik, konversi lahan yang menjadi sumber deforestasi tak terbendung. Manusia, sebagai mahluk ekonomi dan pemerintah yang tergoda menghadirkan kesejahteraan melalui pembangunan, akan terdorong terus mengubah hutan menjadi sektor yang mendatangkan keuntungan paling banyak.
Ia mengajukan satu konsep lama yang mulai bergaung kembali: multiusaha. Dalam konsep ini, hutan tak semata hanya diusahkan dengan eksploitasi kayu. Multiusaha adalah memanfaatkan ruang di bawah tegakan hutan untuk pelbagai keperluan. Kombinasi beragam komoditas dalam hutan, tak hanya mendorong keragaman hayati, juga nilai ekonomi.
Dalam perhitungan Dodik, multiusaha hortikultura di hutan mencapai Rp 48.000 per meter persegi per tahun. Jika luas hutan produksi kini mencapai 43 juta hektare, potensi multiusaha bisa mencapai Rp 20.640 triliun—seperempat target produk domestik bruto dalam Visi Indonesia 2045.
Nilai hutan yang kecil itu tecermin dalam sumbangan PDB sektor kehutanan yang hanya 0,6% secara nasional. Padahal luas area hutan sekitar 120,5 juta hektare atau 66% dari total wilayah daratan Indonesia. “Potensi multiusaha akan naik dari Rp 356 triliun hari ini menjadi Rp 1.210 triliun pada 2045,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono dalam seminar “Membangun Multiusaha Kehutanan sebagai Pilar Visi Indonesia 2045” pada 25 Agustus 2021.
Nilai tersebut bukan berasal dari nilai ekonomi kayu, kata Bambang, melainkan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan pangan. Menurut Bambang, dari agroforestri saja, nilai pangan hutan melalui multiusaha sebesar Rp 10,8 juta ton per hektare.
Dodik Ridho mengatakan bahwa hutan bisa menjadi solusi krisis pangan di tengah kian menurunnya lahan pertanian akibat dikonversi menjadi perumahan. Saat ini luas lahan pertanian tinggal 8 juta hektare dari luas total sawah 10 juta hektare. “Indonesia harus memenuhi kebutuhan pangan kurang lebih 270 juta jiwa, dari mana memenuhinya?” kata dia.
Dengan cara seperti itu, kata Dodik, multiusaha menjadi selaras dengan pembangunan, yang menyeimbangkan tuntutan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Multiusaha membuat pemanfaatan ruang hutan terjadi di antara limit ekonomi dan toleransi lingkungan. “Tidak menebang lebih, tidak mengonservasi berlebihan,” kata dia. “Pembangunan akan tumbuh dan kita tidak bunuh diri di negeri yang kaya sumber daya ala mini.”
Berbeda dengan perhitungan KLHK, Dodik menghitung multiusaha kehutanan akan menaikkan pendapatan per kapita negara menjadi US$ 15.000, angka yang masuk kategori maju pada 2045.
Kontribusi sektor kehutanan akan berefek pada nilai pengganda tenaga kerja, pendapatan, dan output yang cukup besar. Dalam industri ekstraktif yang besar, kata Dodik, tiap kenaikan pertumbuhan ekonomi memperlebar kesenjangan. Konsep multiusaha kehutanan menuntut padat tenaga kerja, menaikkan nilai hutan, sekaligus meningkatkan nilai ekosistem.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :