Kabar Baru| 29 September 2021
Demokrasi Indonesia Merusak Lingkungan
DI Indonesia, demokrasi belum bisa menciptakan pemerintahan yang baik. Demokrasi di Indonesia belum bisa menjadi andalan pemberantasan korupsi, penegakan hukum, mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi Indonesia belum menjadi instrumen melindungi lingkungan. “Bahkan demokrasi secara sistematis merusak tata kelola lingkungan,” kata Ward Barencschot.
Ia peneliti antropologi politik India dan Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, dosen Amsterdam University Belanda ini meneliti pemilihan kepala daerah di Indonesia dan menerbitkannya dalam buku Democracy for Sale pada 2019. Ward menyampaikan kalimat yang kuat itu dalam webinar "Indonesia di Persimpangan Oligarki dan Demokrasi" oleh Greenpeace pada 28 September 2021.
Dengan bahasa Indonesia yang fasih, Ward mengurai benang kusut pemilu di Indonesia yang akhirnya melahirkan oligarki, sekelompok orang yang menguasai uang dan regulasi untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Menurut Ward, pangkal soalnya adalah biaya pemilu yang mahal.
Biaya pemilu yang mahal berakar pada lemahnya partai politik dalam peran mereka di masyarakat dengan ideologi dan program. Karena itu, para kandidat kepala daerah atau legislator secara perorangan harus membangun jejaring sendiri ketika berkampanye. Maka mereka mesti punya tim sukses.
Tim sukses tentu menuntut biaya besar. Tapi ini hanya salah satu pos biaya pemilu saja. Menurut Ward, ada tiga sumber pengeluaran lain dalam biaya pemilu tiap kandidat atau partai, yakni mahar politik, menyuap pemilik suara, dan membayar saksi untuk tiap tempat pemungutan suara (TPS).
Biaya besar itu membuat para kandidat kepala daerah atau politikus calon legislator dan pemimpin partai menjalin hubungan dengan para pengusaha. Mereka pun saling tukar kepentingan: politikus butuh uang untuk pemilu, pengusaha butuh dukungan regulasi untuk bisnis mereka.
Oligarki Indonesia pun lahir dari kelindan proses seperti ini. Ward menyebut hubung-hubungan ini sebagai klientelisme, yakni interaksi dan transaksi antara politikus dan pemilik modal, yang berlanjut pada transaksi politik uang antara politisi dengan pemilik suara.
Mengapa klientelisme di Indonesia terjadi? Ward menyebut penyebabnya sebagai lingkaran setan relasi informal, yakni para politisi tak bisa mengimplementasikan visi dan misi mereka ke dalam kebijakan dan program. Akibatnya, pemilih juga mengabaikan program politisi dan memilih mendapatkan keuntungan pribadi. Maka “serangan fajar” menjadi umum tiap pemilu.
Bagi politisi, biaya pemilu dari pengusaha itu ditukar dengan izin konsesi, kemudahan pemberian izin, serta kekebalan hukum. “Maka politikus pun akan korupsi dan menjalin kolusi dengan pelaku ekonomi,” kata Ward.
Bahkan, dalam banyak kasus, klientelisme menyatu dalam satu sosok. Kini pengusaha sendiri yang terjun menjadi politisi. Dengan uang banyak, mereka bisa membeli biaya pemilu untuk berkuasa.
Walhasil, ketika mereka menjadi penguasa, politikus cum pengusaha ini menciptakan regulasi yang menguntungkan bisnis mereka sendiri. “Di Kalimantan dan Sumatera ada yang ingin menjadi politisi hanya agar mudah mendapatkan izin bisnis,” kata Ward.
Lingkaran setan ini, dalam temuan Ward, terus berulang dari pemilu ke pemilu di Indonesia sejak Reformasi 1998. Ia mengutip banyak penelitian lain yang menghubungkan titik api kebakaran hutan dengan waktu pemilihan.
Setahun sebelum pemilu, izin konversi hutan menjadi areal penggunaan lain (APL), yang menjadi wewenang kepala daerah, naik. Tentu Ward menyoroti peran petahana yang hendak maju lagi untuk periode kedua dan sedang mencari pembiayaan politik. Satu tahun setelah terpilih, jumlah titik api kebakaran meningkat: itulah saat APL berubah menjadi perkebunan.
Adakah jalan keluar dari keadaan rusak dan mengembalikan demokrasi yang sehat? Ward memberikan beberapa solusi, yakni Indonesia mesti menciptakan satu sistem yang bisa mengurangi biaya pemilu. “Salah satunya meningkatkan peran dan dukungan wewenang bagi Badan Pengawas Pemilu,” katanya.
Mahar politik mesti dihentikan. Bagaimana caranya? Ward menyarankan agar ada subsidi negara untuk biaya partai politik ditambah. Masalahnya, di tengah partai yang korup, anggaran negara itu hanya memindahkan medan penyelewengan. Alih-alih untuk memelihara basis pemilih, partai akan memakai anggaran untuk kepentingan lain. Biaya memelihara konstituen akan kembali melalui klientelisme dengan pengusaha.
Maka, jika anggaran negara ditambah untuk partai politik, perlu ada penegakan hukum yang kuat untuk mendorong audit dan transparansi keuangan partai. Untuk sampai ke sini membutuhkan kemauan politik. Sementara para politikus yang membuat undang-undang berasal dari praktik kolusi tadi.
Cara lain adalah mengurangi biaya pemilu melalui pemilihan elektronik (e-voting) agar partai dan kandidat tak harus mengeluarkan biaya untuk saksi di TPS. Juga menerapkan sistem proporsional tertutup untuk menangkal pembelian suara.
Bisa juga dengan menyatukan waktu pemilihan eksekutif dan legislatif. “Kandidat yang mendapat suara terbanyak dari partai terbesar menjadi kepala daerah,” kata dia.
Tanpa mengubah desain pemilu, kata Ward, demokrasi Indonesia justru menjadi cara sistematis untuk suburnya korupsi, kolusi, menjauhkan keadilan sosial, hingga merusak lingkungan. “Perlindungan lingkungan hidup harus dimulai dengan perlindungan terhadap demokrasi,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :