MEMASUKI bulan Oktober, bencana umum yang biasanya rutin di musim penghujan adalah banjir dan tanah longsor. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, di luar musim hujan saja, banjir dan longsor menjadi bencana hidrometeorologi di beberapa daerah.
Pada 1 Januari-25 September 2021 terjadi 362 tanah. Longsor menjadi bencana ketiga tertinggi setelah banjir (814 kejadian) dan puting beliung (500 kejadian). Peringatan dini untuk ketiga jenis bencana ini, terutama longsor masih memakai teknologi radar, pengindraan jauh, dan geoteknik sensor yang mahal. Data yang terhimpun juga cukup rumit sehingga tak mudah diolah untuk disajikan secara real time di aplikasi online.
Bencana hidrometeorologi ini biasanya akibat cuaca ekstrem. Pemanasan global dan krisis iklim menjadi penyebab utamanya. Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG berulang kali mengingatkan masyarakat untuk waspada karena peralihan musim kemarau ke hujan saat ini.
Seperti gempa, tanah longsor adalah jenis bencana yang sulit diprediksi. Lain halnya dengan bencana banjir biasanya datangnya dapat dipantau. Jika Bendung Katulampa di Bogor, Jawa Barat, siaga III/IV, sepuluh jam kemudian air akan sampai di Kampung Melayu di Jakarta Timur.
BNPB mencatat pada 2020 terjadi 2.925 kejadian bencana alam yang didominasi tiga jenis bencana hidrometeorologi tersebut. Banjir sebanyak 1.065 kejadian, lalu angin puting beliung 873 kali dan tanah longsor 572 kejadian.
Banjir bandang adalah fenomena bencana baru akhir-akhir ini. Pada September banjir bandang di Sungai Cidurian Kabupaten Bogor yang meluluhlantakkan jembatan antar desa/kecamatan yang merupakan sarana vital bagi mobilitas warga setempat.
Banjir bandang terjadi karena hutan air di daerah hulu beralih alih fungsi sehingga kemampuan menyerap dan menangkap air hujan berkurang. Dalam ilmu hidrologi, kondisi ini disebut sub surface run off 0% dan surface run off 100%.
Kawasan hutan lindung dan cagar alam merupakan kawasan yang efektif menyimpan air. Hutan dengan pohon berdaun jarum seperti pinus mampu membuat 60% air hujan terserap tanah. Sedangkan, kemampuan hutan dengan pohon berdaun lebar dalam menyerap air hingga 80%.
Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, makin tinggi pula air hujan yang akan terserap ke dalam tanah. Keragaman hayati hutan, karena itu, menjadi penting sebagai pencegah bencana alam.
Maka untuk mencegah bencana banjir bandang dan tanah longsor, tidak ada kata lain selain mempertahankan kawasan hutan dan tutupannya. Caranya dengan mencegah alih fungsi lahan hutan di daerah hulu.
Untuk daerah hulu kawasan hutan dan tutupan hutannya rusak, reforestasi dan rehabilitasi lahan mutlak diperlukan. Menanam spesies cepat tumbuh dan berdaun lebar salah satu pilihan jenis pohon dalam rehabilitasi daerah hulu sungai yang rusak.
Sementara untuk mencegah longsor di tebing-tebing hutan bisa dengan vegetasi kayu cepat tumbuh yang memiliki sistem akar dalam. Vetiver menjadi pilihan efektif mencegah longsor di areal pertanian, bantaran sungai, atau lahan curam.
Krisis iklim membuat kita tak hanya harus waspada, juga mencegah pelbagai bencana hidrometeorologi itu dengan mengembalikan hutan ke dalam struktur alamiahnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :