Kabar Baru| 01 Oktober 2021
Keluar dari Cengkeraman State Capture Corruption
DALAM lema korupsi, kita mengenal istilah state capture corruption. Definisi state capture corruption adalah korupsi yang tak semata administratif yang melibatkan suap atau uang pelicin, melainkan korupsi melalui akarnya, yakni korupsi melalui peraturan.
Karena itu state capture corruption jauh lebih sistematis ketimbang suap. Ia muncul karena aturan melegalkannya sehingga keuntungan seseorang atau salah satu pihak tak bisa diusut secara hukum.
Menurut Hariadi Kartodihardjo, peneliti tata kelola IPB University, state capture corruption sudah dimulai sejak 1977, yakni ketika Indonesia mulai memanfaatkan sumber daya alam untuk menumbuhkan ekonomi.
Waktu itu ada diskusi di kalangan para cendekiawan tentang makna pasal 33 UUD 1945. Meski istilah state capture corruption belum muncul, dalam diskusi mengemuka tentang peran negara menghamburkan kekayaan negara, salah urus, komersialisasi jabatan, manipulasi, maupun korupsi.
Dalam webinar “Indonesia dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi” oleh Greenpeace pada 28 September 2021, Hariadi menerangkan bahwa korupsi peran negara ini berawal dari kelemahan institusional dan hukum dalam sistem sosial.
Akibatnya sistem berkebalikan perannya karena bekerja untuk kepentingan ilegal yang dilindungi hukum. “Kita harus melakukan apa yang sudah diatur hukum, tapi hukum yang tidak adil?” katanya Hariadi.
Menurut Hariadi, pemain dalam sistem korupsi peran negara ini adalah pimpinan partai politik serta elite kaya yang bisa mengatur aturan. Kekuasaan politik dipakai untuk membuat regulasi yang menguntungkan elite dan para penguasa bisnis.
Akibat dari aturan yang menguntungkan satu pihak itu bentuknya berupa pemaksaan kewenangan, birokrasi yang berlebihan, suap perusahaan kepada birokrasi, dan regulasi yang tidak terkait dengan masalah yang hendak diselesaikannya.
Dari penelitian Hariadi, state capture corruption melahirkan konflik kepentingan yang tidak bisa dikendalikan serta kaburnya keberpihakan negara terhadap kepentingan publik; minimnya transparansi dan partisipasi publik; penegakan hukum yang tidak efektif dan salah sasaran, tidak menyebabkan efek jera, serta tidak memulihkan kerugian negara; dan lemahnya perencanaan sebuah kebijakan.
Pembicara lain, Ward Barenschot, mensinyalir akar state capture corruption adalah biaya pemilu yang mahal. Partai maupun kepala daerah dan negara mesti menyusun tim sukses karena lemahnya partai dalam memelihara basis pemilih akibat tak memiliki visi dan misi yang kuat.
Kebutuhan membiayai pemilu ini membuat politisi mendekat kepada para pemilik modal. Utang politik ini lalu melahirkan tukar kepentingan: politisi butuh uang, pebisnis butuh aturan memuluskan bisnis.
Kini para pelaku usaha bahkan sudah masuk ranah politik. Barenschot menemukan di Sumatera dan Kalimantan, pengusaha tertarik masuk politik untuk punya kuasa membuat regulasi yang menguntungkan bisnis mereka. State capture corruption pun berjalan dari klientelisme semacam ini.
Ikuti percakapan tentang state capture corruption di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :