KAWASAN hutan yang dibebani hak selama ini adalah kawasan hutan produksi, dibandingkan hutan lindung, apalagi hutan konservasi. Beban hak berupa perizinan atau konsesi itu berupa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Apa beda keduanya?
Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79% dari luas total hutan. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.
Sejak UU Nomor 5/1967 terbit, hutan produksi dikapling untuk dimanfaatkan kayu dan hasil hutan lainnya. Pemerintah mendelegasikan pemanfaatan itu kepada perusahaan melalui pemberian hak mengelola atau konsesi itu. Jika di hutan alam disebut HPH, dan hutan tanaman disebut HTI.
Orde Baru runtuh. HPH dan HTI Bersalin rupa. Undang-Undang Kehutanan pun direvisi menjadi UU 41/1999. Pada 2000, misalnya, jumlah HPH di hutan alam naik menjadi 600 perusahaan dengan mengelola konsesi 64 juta hektare. Artinya, hutan produksi mendekati habis karena 93,2% sudah dikelola perusahaan. Belum lagi sisanya seluas 4,6 juta hektare, sebagian menjadi areal transmigrasi, perkebunan, percetakan sawah baru dan pemukiman.
Surutnya kejayaan kayu hutan alam di Indonesia membuat perusahaan kayu bertumbangan, karena kontraknya habis atau izinnya dicabut. Pada akhir 2019, jumlah perusahaan HPH tinggal 255 unit dengan luas 18,7 juta hektare.
Bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas lebih dari 45,3 juta hektare, sebagian berubah menjadi HTI seluas 11,3 juta hektare oleh 293 perusahaan. Sisanya berubah menjadi HPH restorasi ekosistem seluas 600.000 hektare oleh 16 perusahaan baru.
Dalam penggunaan kawasan hutan produksi, sejak 1985-2017, alih fungsi lahan untuk kegiatan nonkehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan seluas 6,7 juta hektare plus perkebunan dan pertambangan ilegal 3,1 juta hektare.
Kawasan hutan produksi juga dipakai untuk perhutanan sosial yang sekarang izinnya telah terbit untuk 4,7 juta hektare dari total 12,7 juta hektare. Meskipun perhutanan sosial bisa di hutan lindung, sebagian besar izinnya di hutan produksi.
Melihat data pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi terlihat ada potensi tumpang tindih berbagai kepentingan. Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua Instruksi Nomor 10/2011 dan Nomor 6/2013, tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.
Akibat moratorium ini, per Desember 2014, hutan alam primer dan lahan gambut seluas 64,1 juta hektare untuk sementara tak bisa dimanfaatkan oleh konsesi baru. Presiden Joko Widodo meneruskan moratorium melalui Inpres 5/2019 seluas 66,3 juta hektare.
Di manakah hutan produksi yang masih berupa hutan primer seluas 66,3 juta hektare? Bukankah hutan produksi sudah habis dibagi konsesinya? Kalau pun tutupan hutannya terbentuk, ia menjadi hutan sekunder.
Ini pertanyaan penting jika kita melihat lagi alasan Norwegia tak kunjung membayar janji mereka menghargai penghindaran emisi karbon Indonesia melalui skema pengurangan deforestasi dan degradasi (REDD) sebesar Rp 812 miliar. Norwegia selalu menyitir kebijakan moratorium hutan primer itu.
Akhirnya perjanjian selama hampir 11 tahun itu putus pada 10 September 2021. Norwegia tak jadi membayar penyerapan karbon Indonesia sebesar US$ 5 per ton. Pemanfaatan hutan berupa penyerapan karbon tumpang tindih dengan penggunaan hutan yang eksploitatif hingga melepaskan karbonnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :