Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 03 Oktober 2021

Penyangga Pangan Halmahera Barat

Di Halmahera Barat makanan punya banyak nama. Tradisi gunung dan pesisir membuat pangan melimpah.

Pelabuuhan Jailolo di Halmahera Barat (Foto: Swary Utami Dewi)

DI Maluku Utara hanya ada dua jenis makanan: enak dan sangat enak. Sewaktu berkunjung ke Jailolo, ibu kota Halmahera Barat di Maluku Utara pekan lalu, makan siang dan makan malamku hampir semua makanan tradisional. Dari kudapan siang, sore, hingga malam. 

Masyarakat lokal menyebutnya "makanan kobong" atau makanan kebun. Maksudnya, makanan yang semua bahan dasarnya diperoleh dari hasil kebun lokal masyarakat setempat. Dan kebun ini merupakan bagian dari kawasan hutan dan maupun di luar kawasan hutan.

Konstruksi Kayu

Nama makanannya juga unik sampai susah diingat. Ada pisang raja kecil diberi santan kental yang disebut “sayur pisang santang”. Rasanya tidak terlalu manis. Ini juga bukan menjadi kolak, tapi bagian dari sayur dalam makan sehari-hari. Yang lazim juga dimasak "santang" adalah kasbi (singkong), batata (ubi jalar), kaladi (keladi), terong (fofoki) dan jantong pisang (jantung pisang). Santannya langsung diambil dari buah kelapa yang lazim tumbuh di halaman rumah atau kebun masyarakat di hutan.

Ada juga tumis daun pepaya dicampur dengan daun kasbi dan paku (pakis) yang dipotong kecil-kecil. Dicampur ebi sedikit, rasanya maknyus. Ini disebut “sayur bonga popaya”. Juga ada makanan berbahan dasar pepaya muda, jagung, bayam, kangkung dan sebagainya. Bumbu tumis, bisa campuran bawang merah, bawang putih, blakama (kemangi), brama kusu (sereh) dan goraka (jahe).

Beberapa jenis masakan serupa kari mengutamakan brama kusu, goraka, blakama dan kunyit. Empat bumbu dasar ini lazim disebut rempah kering. Untuk rempah andalan Maluku Utara, yakni pala dan cengkeh, masyarakat biasa memakainya saat memasak jenis kalio dan sup.

Makanan penutup, berupa buah pisang jenis lokal seperti pisang susu dan pisang jarum.

Kudapan lokal juga bervariasi. Pagi ada kue mirip kue lumpur yang disebut “angka”. Bahan dasarnya campuran terigu dengan berbagai tepung. Lalu ada juga komposisi santan, telur, daun pandan dan gula secukupnya. Saat disajikan, di atasnya ditaburi irisan kenari atau kacang tanah.

Juga ada pisang setengah matang yang digoreng, disebut pisang “mulu bebe” karena bentuk pisangnya melengkung seperti mulut bebek. Makannya dicocol dengan sambal atau dabu dari campuran rica (cabai), bawang merah dan tomat.

Aku juga mencicipi “pisang coe” yang berbentuk kue lapis basah tebal terdiri dari dua lapisan. Lapisan bawah adalah pisang yang dicampur santan, gula dan jika suka mentega. Lapisan atas merupakan campuran tepung terigu, santan dan gula. Rasanya tidak terkira.

Saat sore ada kudapan kacang goreng dan singkong goreng (kasbi goreng). Berbeda dengan kudapan ala kota, meski jenisnya sama, kacang dan singkong di sini benar-benar gurih. Tekstur dan rasanya berbeda. Entah karena digoreng dengan minyak kelapa lokal, dibumbui jenis rempah tertentu, atau karena bahan dasar kacang dan singkong diambil langsung dari kebun masyarakat yang memiliki unsur hara yang berbeda.

Menurut Cisiany, akrab dipanggil Cici, seorang pendamping perhutanan sosial dari Halmahera, kasbi yang digoreng biasanya kasbi muda. Inilah yang menjadi pembeda singkong Halmahera dengan singkong goreng pada umumnya.

Untuk karbohidrat, selain mendapatkannya dari berbagai umbi-umbian dan jagung serta sagu (yang diolah menjadi papeda), beras kerap ditanam sendiri oleh masyarakat di wilayah hutan di gunung. “Kami menyebutnya padi gunung,” kata Kepala Desa Bobo Jiko, Arman F. Wahid.

Bagaimana dengan lauk pauk? Karena letak Kabupaten Halmahera Barat tepat di pinggir Teluk Jailolo, tentu saja tempat ini surga ikan. Ikan-ikan berukuran lengan orang dewasa berenang di pinggir pantai di pelabuhan. Ekosistem pesisir laut yang masih sehat mendukung ketersediaan ikan segar dan sehat bagi masyarakat setempat.

Lahan kebun dan pesisir menjadi sumber mata pencarian penduduk Halmahera Barat. Kebun dan pesisir layaknya dua tangan yang menunjang kehidupan masyarakat sejak berabad lalu. Kepala Desa menjelaskan masyarakat desanya sudah turun temurun menjalankan dua pekerjaan ini sebagai mata pencarian.

Tidak benar-benar bisa dipisahkan petani atau nelayan saja. Jika musim angin tenang, masyarakat turun melaut. Jika musim angin kencang dan ombak tinggi, pilihannya adalah kembali ke atas bukit atau gunung untuk kembali mengerjakan lahan.

Dari kebun, masyarakat mendapatkan berbagai jenis makanan bernutrisi yang mereka sebut "makanan kobong" tadi. Sementara dari laut masyarakat memperoleh protein hewani. 

Pala dan cengkeh membuat kawasan ini terlihat kokoh: sebagai hutan dan penyedia pangan. Pesisir dan gunung adalah anugerah terindah Halmahera Barat. Dengan perhutanan sosial, semoga mereka makin sejahtera.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain