ADA tiga jenis bukti yang melandasi kelahiran suatu kebijakan berbasis pengetahuan untuk mewujudkan keadilan sosial: bukti ilmiah, pengetahuan profesional, serta pengetahuan lokal. Urutan ini tak boleh terbalik. Literatur memperlakukan pengetahuan lokal sebagai nilai dan perspektif daripada sebagai sumber ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
Sementara itu, dalam “Discerning Experts: The Practices of Scientific Assessment for Environmental Policy” (2019) Michael Oppenheimer, dkk, para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), semakin sadar tentang garis demarkasi antara sains dan kebijakan.
Mereka mempromosikan gagasan tentang informasi yang “relevan dengan kebijakan, tetapi tidak berdasarkan kebijakan”. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu kita catat. Pertama, ilmu untuk rekomendasi kebijakan seperti advokat yang memilih informasi untuk posisi ilmuwannya. Kedua, jika kebijakan melampaui ilmu, penelitian ilmiah tidak sama dengan penilaian ilmiah untuk kebijakan.
Pendapat itu mengarah pada persoalan pembentukan kebijakan publik bahwa semestinya kebijakan tidak hanya bergantung pada penilaian para ilmuwan dan para profesional atau menjadi bagian dari konsultasi yang sangat terencana dengan hasil yang sebagian besar telah ditentukan sebelumnya. Karena, walaupun para ilmuwan menjadi penasihat, advokat, perakit solusi pembangunan, mereka bukan pemegang otoritas pemakaian ilmu pengetahuan.
Kharisma Nugroho, Fred Carden, dan Hans Antlov dalam buku “Local Knowledge Matters: Power, Context and Policy Making in Indonesia” (2018) menyebut adanya argumen untuk “de-profesionalisasi” politik dan administrasi publik untuk mematahkan peran menantang representasi masyarakat, sehingga pembangunan bersifat inklusif. Dengan membahas sepuluh kasus penggunaan pengetahuan lokal dalam kebijakan, Nugroho dkk memastikan bahwa kepercayaan dan pengalaman hidup masyarakat menjadi titik awal dalam pembangunan melalui metodologi dekolonisasi.
Dengan demikian, peran para ahli bukan hanya memberi solusi siap pakai atau “praktik terbaik” atau bahkan untuk secara terbatas menciptakan pengembangan pengetahuan ahli. Yang lebih penting lagi adalah membantu masyarakat agar terlibat dalam pertimbangan yang bermakna, untuk mengenali pengetahuan mereka dan memberi mereka suara. Oleh karena itu, masalahnya bukan salah satu dari “kodifikasi ilmiah” atas ilmu pengetahuan, melainkan tentang “pengetahuan siapa” dan kegunaannya.
Di Indonesia, pengakuan terhadap siapa membuat dan siapa merasakan dampaknya semakin penting seiring perpindahan sistem politik ke sistem pemerintahan yang tersentralisasi berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. Sentralisasi bukan sekadar pemusatan kewenangan, juga pemusatan atau monopoli pengetahuan.
Dengan lebih dari 300 kelompok budaya di kepulauan, dengan lebih dari 17.000 pulau, peluang dan kebutuhan untuk mengintegrasikan ragam pengetahuan lokal Indonesia untuk mengadaptasi kebijakan sangat penting. Terkait dengan pengetahuan lokal itu, temuan pokok Nogroho dkk sebagai berikut:
Pertama, perdebatan tentang bagaimana pengetahuan mempengaruhi kebijakan menunjukkan bahwa ini bukan hanya tentang “(kebijakan) apa yang berhasil”, juga tentang untuk siapa keberhasilan itu dan dalam konteks apa. Ini adalah pengakuan bahwa konteks dan kekuasaan sangat penting diperhitungkan dalam kebijakan publik.
Kedua, pengetahuan lokal bersumber pada dua jenis. Pertama, kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Contoh, praktik asuransi sosial melesi di Sulawesi Tenggara, praktik pengelolaan sasi laut di Maluku, dan praktik bagi hasil mawah di Aceh.
Sumber kedua adalah pengetahuan warga kontemporer. Ini menjadi bagian dari wacana yang diperebutkan melalui interaksi sehari-hari dan melalui interpretasi oleh masyarakat dari berbagai bentuk pengetahuan yang merupakan bagian dari pengalaman hidup mereka. Contohnya, bentuk-bentuk baru agro-meteorologi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, perlawanan sehari-hari masyarakat terhadap pertambangan, dan pengelolaan air berbasis masyarakat di Kupang dan Banjarmasin.
Ketiga, interaksi antara pengetahuan ilmiah, profesional, dan lokal akan berkontribusi pada kebijakan sosial-ekonomi yang jauh lebih kuat. Produksi pengetahuan dan integrasinya adalah alat ampuh mewujudkan tujuan kebijakan, yakni memberikan lebih banyak legitimasi politik melalui partisipasi masyarakat maupun meningkatkan apa yang layak secara teknis, ekonomi, maupun kesesuaiannya secara politik.
Keempat, pembuatan kebijakan publik adalah arena politik-ekonomi. Oleh karena itu membutuhkan kolaborasi antara bukti teknis dari pengetahuan lokal dan pengetahuan profesional serta pengetahuan ilmiah dan upaya politik berupa partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan lokal.
Berbagai bentuk dan intensitas otoritas lokal diperlukan untuk melembagakan praktik dan pengetahuan lokal untuk memastikan keberlanjutan inisiatif.
Pengetahuan lokal yang terbukti memperkaya kebijakan publik, misalnya, skema asuransi sosial melesi di Sulawesi Tenggara. Untuk kebijakan publik yang lebih mudah diterima dan meningkatkan keberhasilan implementasinya, bisa kita tengok sistem irigasi adat Keujruen Blang di Aceh. Irigasi ini berfungsi sebagai mekanisme komunal untuk mendistribusikan air serta tempat untuk resolusi konflik yang lebih luas dalam masyarakat.
Pelibatan kelompok yang kurang terwakili dan terpinggirkan muncul di Pusat Pendidikan dan Kajian Masyarakat di Aceh. Lembaga ini bisa merevitalisasi asosiasi petani adat dengan memobilisasi perempuan dalam konsultasi publik. Sementara Institut Studi Islam dan Masyarakat di Banjarmasin mempromosikan pemanfaatan sungai yang lebih inklusif dengan menjangkau kelompok perempuan.
Kelima, ada sejumlah ketegangan yang bermain antara pengetahuan lokal dan pengetahuan lainnya, yaitu kontestasi berbagai nilai, tujuan, dan manfaat yang saling bersaing. Ketegangan itu, antara lain, ketegangan antara ketelitian ilmiah dan partisipasi masyarakat dan antara ketelitian ilmiah dan kepentingan pembuat kebijakan.
Ketegangan kedua terjadi antara definisi masalah lokal dan definisi masalah regional, nasional, global dari pembuat kebijakan dan para ilmuwan. Pengetahuan lokal sangat didorong oleh konteks yang spesifik, sedangkan sains berusaha menjeneralisasikannya. Dalam hal ini, perspektif ilmiah tentang objektivitas dan asumsi bahwa ilmu itu netral sangat kontras dengan pendekatan berbasis nilai yang menopang pengetahuan lokal.
Ketegangan ketiga terkait dengan cakupan dampak. Pengguna pengetahuan lokal biasanya fokus pada dampak di komunitas lokal mereka, sedangkan sains tertarik pada pengetahuan umum. Sementara pengguna pengetahuan profesional sering kali lebih tertarik pada sistem nasional atau global.
Tujuan yang dicari juga masuk dalam ketegangan, yaitu antara hasil di masyarakat itu sendiri dan hasil dalam pengembangan pengetahuan. Bagi sebagian orang, pengembangan pengetahuan menjadi hasil yang paling penting. Bagi sebagian besar pemegang pengetahuan lokal, hasil utama adalah seputar peningkatan kesejahteraan komunitas mereka.
Uraian di atas menunjukkan bahwa di tingkat dunia sekalipun, para ilmuwan menyadari tidak seluruh kebenaran bisa ditetapkan berdasarkan koridor ilmu pengetahuan. Apa yang disebut “bukti ilmiah” tidak senantiasa menjawab kebenaran.
Terlepas dari itu semua, daya guna ilmu pengetahuan bermakna ketika diterapkan dan menghasilkan harmoni dalam masyarakat. Caranya, setidaknya dari artikel ini, melalui penggabungan pengetahuan ilmiah, pengetahuan profesional, dan pengetahuan lokal.
Untuk mewujudkannya pun sangat mudah. Sebuah pengetahuan tidak akan habis karena dipakai. Ia justru makin bertambah ketika terus menerus digunakan. Persoalannya kelangkaan pengetahuan biasanya sengaja dibuat melalui keadaan yang dipaksakan, yakni kondisi tanpa keadilan sosial.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :