Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Oktober 2021

Gajah dalam Ancaman Pemburu Liar

Di Hari Satwa Sedunia ke-90, gajah makin terancam oleh perburuan liar. Perlu penegakkan hukum dan restorasi hutan.

Gajah Sumatera, mamalia darat terbesar yang kritis karena habitatnya terdesak, konflik yang kronis, dan perburuan gading (Foto: Sunarto)

DALAM kurun satu dekade terakhir, petugas Taman Nasional Way Kambas di Lampung mencatat kematian 22 ekor gajah akibat perburuan liar. Perburuan liar menjadi ancaman serius masa depan gajah di Hari Satwa Sedunia ke-90, 4 Oktober 2021.

Para petugas Taman Nasoinal menemukan bangkai gajah yang gading dan giginya hilang. Bukti adanya perburuan liar diungkap Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Kuswandono dalam rilis masa depan konservasi gajah pada 2 Oktober 2021. 

Konstruksi Kayu

Dari operasi petugas taman nasional, kata Kuswandono, mereka menemukan 741 jerat seling, 34 sepeda ontel, 4 perahu dayung, tulang kepala gajah. Bukti-bukti itu merupakan akumulasi ooperasi meilndungi gajah selama sepuluh tahun terakhir.

Dengan bantuan teknologi aplikasi SMART, pada 2021 saja petugas Way Kambas menemukan jenis baru alat perburuan, yakni satu jaring kabut, tujuh jerat nilon, 16 jerat seling, 40 jerat seling kecil, dua kadang perangkap. “Temuan ini menandakan perburuan liar gajah masih eksis dan harus segera dihentikan karena mempengaruhi ekosistem hutan hingga ekosistem bumi pada jangka panjang,” kata Kuswandono.

Untuk mencegah perburuan liar gajah, kata Kuswandono, salah satunya dengan restorasi hutan. Menjaga keragaman hayati hutan akan melindungi habitat gajah dan menyulitkan operasi para pemburu. “Saat berburu, pemburu membakar hutan untuk memudahkan pergerakan,” kata dia.

Koordinator proyek restorasi Yayasan Auriga di Way Kambas Basuki menambahkan bahwa pohon-pohon di hutan akan menjadi benteng penjaga bagi satwa yang tinggal di dalamnya.

Selain itu, restorasi akan mempermudah gajah dan satwa lain mendapatkan makanan. “Ketika habitat cukup menyediakan makanan, gajah tak akan memasuki permukiman manusia,” kata Basuki.

Bagi satwa liar seperti gajah kehilangan habitat berarti kehilangan rumah dan tempat menjelajah. Basuki mengaku sering melihat gajah, rusa, dan harimau melintas di kawasan restorasi. “Artinya mereka nyaman berada di kawasan tersebut dengan ruang gerak yang dilindungi,” katanya.

Gajah merupakan penyebar benih yang andal. Dengan jangkauan jelajah hingga radius 20 kilometer sehari serta hidup berkelompok, gajah menjadi spesies penting sebagai penentu kelestarian hutan.

Kakinya yang lebar dan bobot besar, langkah gajah membuat benih-benih tanaman masuk ke dalam tanah sehingga cukup nutrisi untuk tumbuh. Biji tanaman yang menempel di kakinya membuat tanaman tersebar seiring jelajah gajah sehingga menaikkan keragaman hayati di suatu tempat.

Dengan belalainya, gajah juga memangkas pohon yang menghalangi matahari sehingga sumber fotosintesis ini terbagi merata pada tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah adalah penopang penting keragaman hayati dalam struktur hutan yang bertingkat-tingkat secara alamiah. Sementara kotoran dan air kencing gajah menjadi pupuk alami untuk pertumbuhan pohon dan tanaman.

Gajah juga mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, sekitar 150 kilogram tumbuhan dan 120 kilogram air. Sehingga mereka menjadi pengatur keseimbangan ekosistem hutan. Jika gajah musnah, tumbuhan invasif akan merajalela dan membuat hutan menjadi seragam dan kehilangan kemungkinan melakukan regenerasi alamiah.

Hutan yang seragam akan kehilangan kekuatannya sebagai penyangga kelestarian bumi. “Tubuhnya yang besar juga bermanfaat sebagai pembuka jalan bagi satwa lain dalam menjelajah hutan dan mencari makanan,” kata Dedi Iskandar, staf fungsional pengendali ekosistem hutan Way Kambas.

Menurut Kuswandono, saat ini gajah yang berada di kawasan Taman Nasional Way Kambas berjumlah sekitar 180 ekor. Dalam konservasi, gajah termasuk hewan payung. Artinya, melindungi gajah otomatis melindungi satwa lain dalam habitat hutan.

Apalagi, gajah termasuk hewan yang jarang melahirkan. Sekali mengandung mereka hamil selama 95 minggu atau hampir dua tahun. Tak heran jika seekor gajah betina hanya melahirkan empat kali selama masa hidupnya. 

Konservasi gajah melalui perlindungan habitat hutan menjadi amat krusial dan penting. Membiarkan pemburu liar memusnahkan mereka, sama dengan membiarkan bumi melaju di jalur cepat kehancuran. Hari Satwa Sedunia ke-90 mengingatkan kembali pentingnya perlindungan gajah untuk masa depan planet ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain