DARI rapat dengar pendapat antara Panitia Kerja Penggunaan Pelepasan dan Perusakan Kawasan Hutan DPR dengan sejumlah LSM, terungkap bahwa tunggakan PNBP atau penerimaan negara bukan pajak industri kehutanan melalui pemegang izin usaha kehutanan sebesar Rp 10 triliun.
Tunggakan ini mengingatkan pada temuan Kementerian Kehutanan pada 2010 bahwa kerugian negara dari perkebunan dan pertambangan ilegal di kawasan hutan di delapan provinsi mencapai Rp 503 triliun.
UU Cipta Kerja tampaknya bisa menyelesaikan perkebunan dan pertambangan ilegal di kawasan hutan dengan menerapkan sanksi denda. Bagaimana menagih tunggakan PNBP Rp 10 triliun?
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.71/2016 denda bagi mereka yang telat membayar provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), ganti rugi tegakan (GRT), denda pelanggaran eksploitasi hutan (DPEH), dan iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), dendanya 2% per bulan.
Pada akhir 2019, terjadi penyusutan jumlah perusahaan hutan alam menjadi tinggal 255 unit yang mengolah lahan 18,7 juta hektare dan hutan tanaman industri 293 unit seluas 11,3 juta hektare. Bahkan pada 2020, banyak industri kayu kolaps karena kalah bersaing dengan industri kayu luar negeri.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan harga kayu bulat segar (fresh cut) kelompok meranti pada 2020 hanya Rp 1,3 juta-1,4 juta per meter kubik. Sementara kayu bulat yang ditebang pada 2019 Rp1 ,2 juta-1,3 juta. Sedangkan sisa persediaan 2018 hanya di bawah Rp 1 juta.
Kayu bulat kelompok meranti ini lebih dari 70% untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood). Sisanya untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain.
Adapun untuk jenis kayu bulat bangkirai, balau, meranti batu, dan jenis kayu-kayu indah masih menguntungkan karena harganya masih di atas Rp 2,2 juta. Jenis-jenis kayu ini biasanya digunakan untuk kayu gergajian, moulding, dan furnitur.
Harga kayu itu tidak cukup menutupi biaya pokok produksi mengolah kayu yang rata-rata di atas Rp 1,4 juta per meter kubik. Timpangnya keuntungan industri kayu ini menunjukkan bahwa bisnis kayu sudah tak lagi menjanjikan.
Alasan ini pula yang mengemuka sebagai alasan besarnya tunggakan PNBP industri kehutanan. Jika iklim bisnis kayu tak membaik, tentu akan berpengaruh pada ekonomi: negara kehilangan pajak, industri tak bisa beroperasi.
Jika dimaknai dengan sudut pandang lain, senjakala industri kayu ini adalah kesempatan kepada pemerintah untuk mendorong jenis bisnis lain yang lebih menguntungkan dari pemanfaatan hutan. Industri ekstraktif tak lagi menjanjikan karena berakibat pada kerusakan lingkungan yang berpengaruh pada krisis iklim.
Salah satunya bisnis restorasi melalui pengusahaan hasil hutan bukan kayu. Kini penyerapan karbon dari penghutanan kembali hutan yang rusak punya nilai ekonomi. Perhutanan sosial jauh lebih langsung dalam menghidupkan ekonomi masyarakat, meski pajaknya tak terlalu besar.
Perlu ada paradigma baru dalam memandang hutan sebagai sumber daya alam untuk keperluan ekonomi, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Mempertahankan industri kayu, yang melahirkan tunggakan PNBP, ternyata tidak lestari. Saatnya menimbang bisnis yang mendukung perlindungan lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :