USUL lama menggolongkan kelapa sawit sebagai tanaman hutan mencuat lagi. Profesor IPB Yanto Santoso yang mengajukan usul nyeleneh ini untuk menepis anggapan sawit sebagai penyebab deforestasi.
Dengan masuk sebagai tanaman hutan, perkebunan kelapa sawit akan dianggap sebagai hutan sehingga konversi hutan untuk perkebunan ini tak akan dianggap sebagai penggundulan dalam definisi deforestasi. Sawit, kata Yanto, juga komoditas andalan Indonesia.
Menurut Yanto, selama ini ada kesalahan persepsi mengenai sawit yang menjadi stigma buruk bagi seluruh perkebunan kelapa sawit. Padahal, kata dia, problem sawit bukan pada tanamannya, melainkan pada lokasinya.
Kita tahu ada 3,1 juta hektare perkebunan kelapa sawit dan jenis usaha lain di kawasan hutan. Baik dengan izin maupun tanpa izin, keberadaan mereka telah mengubah lanskap hutan sehingga digolongkan ke dalam deforestasi—momok dalam mitigasi krisis iklim.
Pendapat sebaliknya lebih ekstrem. Forest Watch Indonesia, sebuah LSM, bahkan menggolongkan hutan tanaman industri sebagai perkebunan, bukan tanaman kehutanan karena monokultur. Sementara ciri hutan adalah keragaman pohon dengan pelbagai strata yang menciptakan iklim yang solid.
Maka jika pohon yang seragam di HTI saja bukan hutan, apalagi kelapa sawit. Debat ini tidak produktif jika kita melihat aturan dan pelbagai definisi hutan. Apalagi jika kita lihat aturan yang melingkupi seluruh aturan hari ini, yakni UU Cipta Kerja.
Omnibus law UU Cipta Kerja hendak menyudahi konflik perkebunan sawit di kawasan hutan dengan memutihkannya melalui sanksi administratif dan perhutanan sosial. Bagi mereka yang menanam sawit perorangan, lahannya akan dipecah maksimal 5 hektare per orang lalu menerapkan skema jangka benah.
Apa itu jangka benah? Menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Pengolah lahan juga dilarang menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, yakni 15 tahun, lahan itu kembali diserahkan kepada negara. Ini ketentuan pemutihan sawit di kawasan hutan lindung atau konservasi.
Untuk sawit di hutan produksi, jika konsesinya dimiliki pengusaha, pengolah mesti menjalin kerja sama selama satu daur, yakni 25 tahun sejak masa tanam. Kerja sama memuat kewajiban jangka benah, tidak menanam sawit baru, dan setelah 25 tahun lahan diserahkan kembali kepada negara.
Dengan mengacu skema pemutihan ini, sawit bukan tanaman kehutanan karena ada proses menghutankan kembali. Sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Jika ada yang hendak menanam sawit baru di lahan baru, mekanismenya melalui izin pelepasan kawasan hutan karena ada proses konversi lahan.
Alasan lain memakai filosofi ilmu kehutanan. Dalam budi daya hutan tanaman, kita mengenal adanya kegiatan penjarangan (thining), pemangkasan cabang, ranting dan dahan (pruning) dan pemanenan (cutting) dalam penanaman dari bibit/anakan sampai pemanenan.
Tujuan hutan tanaman dengan masa panen yang cukup lama adalah untuk memperoleh jenis kayu yang berkualitas baik dan bernilai ekonomis tinggi. Maka, dalam menanam bibit pada tahun pertama, biasanya jarak tanam dibuat rapat 3 x 2 meter, lalu penjarangan selama 2-3 kali.
Hutan tanaman, karena ia pohon, masih punya fungsi hidrologis menyimpan air karena sistem perakaran yang dalam. Sementara dalam tanaman perkebunan tidak mengenal penjarangan dan pemangkasan. Jarak tanamnya 8 x 8 atau 9 x9 meter dan jika ada yang mati hanya disulam.
Fungsi hidrologis tanaman perkebunan juga buruk. Bahkan penelitian di Chile menyebutkan bahwa tanaman monokultur, bahkan jika ia pohon, tak baik sebagai pengendali iklim. Tanaman monokultur sedikit menyerap karbon karena mereka bersaing memperebutkannya, tidak saling berbagi seperti halnya hutan alam yang menyimpan keragaman hayati tinggi.
Definisi sawit sebagai tanaman hutan biasanya mengacu pada definisi hutan dari Badan Pangan Dunia. Pada 2010, FAO mendefinisikan hutan sebagai suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektare yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan dengan penutupan tajuk lebih dari 10% atau ditumbuhi oleh pohon-pohon yang secara alami (asli) tumbuh di tempat itu dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 5 meter.
Apakah sawit masuk dalam kriteria ini? Dengan jarak tanam 9 x 9 meter, dalam satu hektare lahan akan berisi sebanyak 123 batang sawit. Jika setengah hektare, maka hanya ada 62 batang sawit. Iklim mikro apa yang bisa diciptakan dari habitat sekecil ini?
Meski sawit bukan tanaman rakus air dibandingkan tanaman lain, akarnya yang pendek membuat ia tak mampu menyimpan air dalam jumlah banyak seperti pohon, apalagi setara dengan ekosistem rawa gambut.
Dengan pelbagai argumen itu, usul menggolongkan sawit sebagai tanaman hutan akan kontraproduktif dengan usaha mitigasi krisis iklim. Padahal, krisis iklim adalah ancaman kita hari ini, yang penangkalnya adalah memperluas hutan yang memiliki keragaman hayati tinggi untuk sebanyak mungkin menyerap emisi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :