Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Oktober 2021

Perlukah Food Estate di Kawasan Hutan

Lapisan tanah kawasan hutan Indonesia umumnya tak cocok untuk komoditas pertanian. Pelu kajian lingkungan mendalam sebelum menjadikannya food estate.

Kebun talas di rawa gambut Kubu Raya, Kalimantan Barat (Foto: Bambang Hero Saharjo)

LUMBUNG pangan atau food estate sedang naik daun. Bermula dari peringatan Badan Pangan Dunia (FAO) pada awal tahun lalu bahwa akan ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19, pemerintah merealisasikan food estate di sejumlah provinsi.

Masalahnya ada klausul bahwa lumbung pangan atau food estate akan dibuka di kawasan hutan, bahkan bisa di hutan lindung yang tak lagi berfungsi lindung. Aturan membuka food estate di hutan lindung rancu dengan UU Cipta Kerja yang tak mengizinkan hutan lindung untuk food estate.

Pertanyaannya bisakah food estate di kawasan hutan? Jawabannya bisa saja. Tapi di tengah krisis iklim seperti sekarang, food estate di kawasan hutan sebisa mungkin tak mengubah lanskapnya. Misalnya mengubah hutan menjadi sawah yang bisa melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.

Ilmu kehutanan sudah memberikan jawaban bagaimana hutan bisa berperan sebagai lumbung pangan, yakni melalui agroforestri atau wanatani. Masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan sudah mempraktikkannya dengan menanam komoditas pertanian dan perkebunan di hutan, di antara dan bawah tegakan pohon.

UU Cipta Kerja juga memberikan jalan keluar soal ini, yakni melalui kegiatan multiusaha kehutanan. Skema ini tak hanya memakai hutan untuk pertanian, tapi peternakan, perikanan, dan usaha kehutanannya sendiri, yakni hasil hutan bukan kayu. 

Hitung-hitungan para pakar ekonomi kehutanan memberikan gambaran bahwa multiusaha kehutanan akan menaikkan nilai ekonomi kawasan hutan, bahkan jika dibandingkan dengan sistem hutan monokultur.

Tantangannya adalah mencermati kecocokan lahan dengan komoditasnya. Jika pemerintah akan mendorong konsesi kehutanan menjadi multiusaha untuk memenuhi pangan dan ekonomi lebih besar, perlu memperhatikan agroklimat.

Lahan konsesi rata-rata berjenis tanah podsolik merah kuning (PMK), yakni lahan-lahan yang miskin hara dan mempunyai keasaman yang tinggi (tanah bergambut). Sehingga kalau dipaksakan budi daya tanaman pangan perlu perlakukan khusus yang membutuhkan biaya cukup tinggi.

Ilustrasi di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, bisa memberikan gambaran betapa membangun pertanian di kawasan hutan begitu berat, terutama di lahan gambut. Di Desa Kalampangan, para transmigran berjuang dengan tekun selama bertahun-tahun mengubah tanah gambut bekas konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah ditinggalkan menjadi lahan pertanian yang subur.

Untuk menanam biji jagung manis varietas Bogor, satu lubang tanaman jagung membutuhkan 3 kilogram kapur dolomit untuk menetralkan tanah yang asam menjadi basa (pH sama atau lebih besar dari 7). Apabila tanah sudah bisa dinetralkan tingkat keasamannya, lubang tanaman jagung diberikan pupuk organik dengan jumlah yang cukup memadai. 

Setelah diuji coba bertahun- tahun dan diulang-ulang teknik dan jumlah pengapuran serta pemupukan dengan cara organik, hasil tanaman jagung cukup baik dan memuaskan. Hanya saja, biaya produksi untuk sampai hasil yang bagus itu begitu mahal dan lama.

Di Indonesia, lapisan hutannya adalah tanah podsolik. Mungkin 80% tanah hutan Indonesia jenis tanah ini.

Tanah podsolik merah kuning adalah tanah yang terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan suhu yang sangat rendah. Ia tergolong jenis tanah mineral tua yang memiliki warna kekuningan atau kemerahan.  

Warna dari tanah podsolik ini menandakan tingkat kesuburan yang relatif rendah karena pencucian. Warna kuning dan merah ini disebabkan oleh longgokan besi dan aluminium yang teroksidasi. Mineral lempung yang terdapat pada tanah ini penyusunnya didominasi oleh silikat.

Tanah podsolik merah kuning ini adalah bagian dari tanah ultisol. Menurut United States Departement of Agriculture, ultisol adalah tanah yang sudah mengalami pencucian iklim tropis dan sub tropis. Karakter utama tanah ultisol terakumulasi lempung dan agak masam.

Tanah ultisol bersifat agak lembap dengan radar lengos tertinggi pada ultisol yang berbentuk bongkah. Penyebaran berbagai macam jenis tanah di Indonesia tersebar secara merata di setiap wilayahnya. Begitu juga dengan tanah pedsolik merah kuning ini tersebar di wilayah pegunungan di Sumatera, Jawa Barat, Maluku, Kalimantan, Papua dan Nusa Tenggara.

Dengan ciri-ciri tanah podsolik merah kuning yang tak subur itu, perlu ditimbang lagi memakai kawasan hutan untuk food estate. Baik melalui multiusaha, apalagi membuka hutannya untuk ladang pertanian.

Perlu ada kajian lingkungan yang mumpuni sebelum membangun food estate di kawasan hutan. Menyesuaikan komoditas endemik dengan agroklimatologi yang cocok dengan hutan layak menjadi pertimbangan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain