
HAMPIR sebulan setelah moratorium izin baru perkebunan sawit berakhir, setelah berlaku tiga tahun, pemerintah tak kunjung memutuskan apakah moratorium sawit diperpanjang atau dihentikan.
Menurut Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugarmina, kementerian sudah menyampaikan usul-usul penataan perkebunan kelapa sawit kepada Presiden Joko Widodo. Moratorium sawit tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Presiden tak kunjung memutuskan dan menegaskan arah penataan perkebunan kelapa sawit yang acap menjadi momok sektor perkebunan, kehutanan, bahkan lingkungan hidup secara keseluruhan. Sawit Indonesia selalu dianggap sebagai penyebab deforestasi. Selain karena terdapat di kawasan hutan tanpa izin, perkebunan kelapa sawit legal pun acap membakar untuk pembukaan lahan.
Menurut data Kementerian Pertanian, luas perkebunan kelapa sawit saat ini mencapai 16,38 juta hektare. Dari jumlah itu 3,3 juta hektare berada di kawasan hutan—baik memiliki izin kepala daerah maupun tanpa izin. Baik dimiliki perusahaan maupun individu.
Undang-Undang Cipta Kerja hendak menyelesaikan biang keladi deforestasi itu dengan mengampuninya. Pemilik perorangan akan diampuni lalu mempraktikkan jangka benah dan maksimal hanya boleh mengelola 5 hektare per keluarga. Sawit milik perusahaan akan dikenakan denda.
Masalahnya, UU Cipta Kerja juga memberikan kemudahan bagi usaha-usaha baru berbasis lahan. Syarat-syarat peninjauan lingkungan yang dipermudah untuk menggenjot investasi guna menciptakan lapangan kerja, akan mendorong pengajuan baru izin perkebunan kelapa sawit. Tanpa diperpanjang, urusan sawit akan terus menghantui manajemen hutan dan lahan Indonesia.
Studi Kaoem Telapak dan Environment Investigation Agency (EIA) yang dirilis pada 12 Oktober 2021 memperlihatkan pembukaan hutan, pelanggaran hak asasi manusida, serta korupsi masih terjadi di sektor perkebunan sawit Indonesia. “UU Cipta Kerja bisa menghambat penurunan deforestasi selama 2000-2020,” kata Siobhan Pearce, juru Kampanye sawit EIA.
Menurut Siobhan, seharusnya ada kebijakan yang bisa memastikan bahwa UU Cipta Kerja tak menghalangi penataan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan itu adalah moratorium sawit yang berakhir 19 September 2021 selama tiga tahun.
Rahmadha Syah, juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak, menambahkan bahwa UU Cipta Kerja belum menerangkan kejelasan penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). UU Cipta Kerja, kata dia, melonggarkan pengaturan ketat dalam izin perkebunan kelapa sawit. “Kami menemukan dua konsesi sawit di Kalimantan Barat yang beroperasi ilegal di kawasan hutan,” katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada 2019 menemukan 81% dari semua perkebunan sawit melakukan pelanggaran hukum, sementara hanya 38% yang telah tersertifikasi ISPO. Di Papua Barat 12 dari 24 perusahaan sawit belum punya izin yang diperlukan untuk beroperasi.
Dengan pelbagai masalah itu, kata Siobhan, moratorium sawit mesti diperpanjang bahkan diperkuat level aturannya untuk memberikan kesempatan penataan perkebunan sawit. “Pemerintah harus berupaya keras memperoleh kredibilitas atas klaimnya terkait sawit berkelanjutan,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :