Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Oktober 2021

43 Tahun Kongres Kehutanan Sedunia

Forest for people menjadi tema Kongres Kehutanan Sedunia 1978. Praktiknya forest for state and industry.

Hutan untuk rakyat, poster besar di Manggala Wanabakti, kantor Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan. Tema bersejarah Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta pada 16-22 Oktober 1978 (Foto: Dok. FD)

HARI ini 43 tahun lalu, sebanyak 111 delegasi yang mewakili negara dan organisasi bertemu di Jakarta dalam Kongres Kehutanan Sedunia atau World Forestry Congress pada 16-22 Oktober 1978. Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 ini penting karena mengusung satu tema penting yang menjadi pijakan mengelola kehutanan Indonesia masa itu dan seterusnya.

Tema Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta adalah “forest for people, hutan untuk rakyat, hutan untuk kesejahteraan orang banyak. Slogan ini kemudian diabadikan dalam uang koin Rp 100. Apakah slogan itu benar-benar dijalankan melalui kebijakan?

Presiden Soeharto berpidato membuka kongres enam tahunan itu di Balai Sidang Jakarta Convention Center (kongres ini digelar juga di Hotel Hilton dan gedung Manggala Wanabakti yang menjadi kantor Departemen Kehutanan). Soeharto mengatakan, seperti terekam dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 1978-1983, hutan Indonesia bukan perhiasan alam.

“Bangsa Indonesia menganggap hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang sekali-kali tidak dimaksudkan dipertahankan sebagai perhiasan alam atau dirusak semena-mena untuk kepentingan pribadi. Kebijaksanaan pemerintah Indonesia di bidang kehutanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Akan tetapi tujuannya adalah sama, yaitu untuk kesejahteraan rakyat setempat dan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia,” kata Soeharto.

Soeharto dan para teknokrat menteri pembantunya, menerjemahkan gagasan itu dengan membuka izin pemanfaatan hutan kepada perusahaan sebelas tahun sebelum Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 digelar.

Mula-mula Soeharto membubarkan Departemen Kehutanan yang belum setahun usianya dan dibentuk Presiden Sukarno dalam Kabinet Dwikora. Huru-hara Gerakan 30 September 1965 mengubah lanskap politik Indonesia. Urusan kehutanan turun pangkat dipegang oleh Direktur Jenderal Kehutanan yang berada di bawah Menteri Pertanian dalam Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat.

Dalam era baru itu, hutan sepenuhnya dipakai untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, setelah minyak dan gas. Caranya dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal untuk memanfaatkannya. Maka, pada 1967, lahir tiga undang-undang penting: Nomor 1/1967 tentang penanaman modal asing, Nomor 5/1967 tentang kehutanan, dan Nomor 6/1967 tentang penanaman modal dalam negeri.

Pelbagai izin mengelola hutan bisnis dipermudah. Pajak juga rendah. Turunan tiga undang-undang itu adalah PP 18/1975 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Pemerintah memberikan izin mengeksploitasi hutan Indonesia dari Sumatera hingga Papua kepada pengusaha lokal dan asing serta perusahaan negara.

Perhitungan Soeharto tak meleset. Kas negara segera gemuk dari pelbagai setoran pajak perusahaan HPH. Harga kayu yang melonjak membuat Indonesia mendapatkan aliran devisa tak sedikit. Meski banyak yang mengkritiknya karena pembangunan seperti itu destruktif bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar hutan, Soeharto jalan terus. Salah satu pengkritik paling keras adalah Soedjatmoko (baca ulasannya di sini).

Para pengkritik Soeharto sudah melihat tiga dampak buruk hutan dieksploitasi untuk bisnis: merusak hutan tropis yang sulit pulih, keuntungan berputar di sebagian kecil elite, dan menyingkirkan masyarakat sekitar hutan mendapatkan potensi ekonomi dari hutan di sekitar mereka. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan pemegang konsesi meledak di mana-mana. 

Mereka menjadi korban pembangunan ala Soeharto. Para ilmuwan melihat tak hanya praktiknya yang membahayakan, eksploitasi hutan ala Soeharto merusak karena tanpa perencanaan. Aturan tentang perencanaan hutan baru muncul pada 1971 melalui PP 31. Hutan pun dikelola tanpa landasan yuridis dan ilmiah.

Ujung dari dampak buruk itu adalah kolusi, korupsi, dan nepotisme. Soeharto tumbang pada 1998 karena masyarakat Indonesia sudah muak dengan segala perilaku buruk keluarga dan kroni Soeharto yang ia ciptakan mengandung banyak peluang penyelewengan. Setelah 1965, pergantian politik berdarah terjadi pada 1998.

Tapi Reformasi 1998 tak mengubah banyak hal. UU Kehutanan direvisi menjadi Nomor 41/1999, tapi isi dan semangatnya tetap sama, yakni merayakan manajemen hutan oleh negara. Forest for people tetap dimaknai bahwa hanya negara dan industri yang boleh mengelola hutan secara langsung. Kita hanya dijanjikan akan mendapatkan tetesan pajak dan ekonomi lewat pembangunan.

Baru pada 2014, forest for people mendapat wujud rada jelas melalui perhutanan sosial. Masyarakat di dalam dan sekitar hutan diberikan akses mengelola hutan di sekitar mereka. Dari 12,7 juta hektare yang disediakan baru 4,7 juta hektare yang resmi diberikan aksesnya melalui lima skema: hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, kerja sama kehutanan, dan hutan adat.

Luas perhutanan sosial itu hanya 10% dari luas hutan negara dan hanya seperempat dari luas hutan yang diberikan kepada korporasi. Bonanza kayu kini sudah lewat. Jumlah HPH terus merosot meninggalkan hutan rusak. Melalui UU Cipta Kerja pemerintah hendak mendelegasikan usaha kehutanan melalui multiusaha dengan fokus hasil hutan bukan kayu. 

Forest for people yang menjadi tema Kongres Kehutanan Sedunia diulangi lagi pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-16 pada 2015. Pemanfaatan hutan berputar kembali seolah kita baru sadar pengelolaan hutan melalui industri ekstraktif menghasilkan krisis iklim hari ini.

Pada 22 Oktober 1978, 111 delegasi Kongres Kehutanan Sedunia menanam 111 pohon dari 52 jenis. Mereka kini sudah tumbuh rindang di arboretum Manggala Wanabakti, menjadi hutan kota dan oase Jakarta yang kian polutif, seolah tanda jika dulu kita menanam dengan praktik forest for people, kita akan mendapatkan layanan lingkungan luar biasa dari hutan tropis Indonesia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain